Permohonan tukang gigi yang diwakili Hamdani Prayogo dalam Pengujian Undang-Undang No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran di Mahkamah Konstitusi, dinilai oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Dikarenakan, UU Praktik kedokteran secara tegas sudah mengatur serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh profesi dokter dan profesi dokter gigi.
“Ketentuan yang diatur dalam Pasal 73 ayat (2), sama sekali tidak ditujukan ke profesi lain, selain profesi dokter dan dokter gigi,” urai Anggota DPR Sarifuddin saat mewakili DPR dalam memberikan keterangan pada sidang perkara No. 40/PUU-X/2012, di Mahkamah Konstitusi, Selasa (12/6) siang.
Pemohon dalam hal ini menguji Pasal 73 ayat (2) UU tersebut yang berbunyi, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.”
Dan, Pasal 78 UU yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara-cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
Selanjutnya, Sarifuddin juga mengatakan bahwa Pemohon diharapkan membaca kembali Pasal 73 ayat (3) UU tersebut yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Pasalnya, dalam ayat ini ada pengecualian bagi ayat sebelumnya yakni ayat (1) dan (2).
“Sehingga dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 73 ayat (2) bersifat multitafsir, menjadi tidak beralasan. Karena jelas dalam Pasal 73 ayat (2) hanya ditujukan pada profesi dokter dan dokter gigi, kecuali profesi lain yang diberikan kewenangan berdasarkan peraturan perundangan-undangan,” urai Sarifuddin di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Oleh karena itu, DPR meyakini pasal yang diujikan oleh tukang gigi sama sekali tidak menghilangkan profesi lain termasuk profesi tukang gigi. “Sehingga dalil Pemohon tidak mempunyai dasar pemikiran dan argumentasi hukum yang kuat,” terangnya.
Hal sanada juga disampaikan oleh Pemerintah yang diwakili oleh Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi Agus purwadianto. Dalam penuturannya, Agus mengatakan bahwa Pasal 73 ayat (2) dan Pasal (78) UU Praktik Kedokteran pada hakikatnya justru memberikan sebuah jaminan kepastian hukum bagi penegakan pelayanan kesehatan, karena melindungi masyarakat dari praktik pelayanan yang tidak kompeten.
“Praktik pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan gigi hanya diberikan kepada tenaga yang dimiliki kompetensi dan kewanangan yang diakui oleh peraturan perundang-undangan,” tutur Staf Ahli Kementerian Kesehatan tersebut.
Menurut Pemerintah, pasal-pasal tersebut dalam UU Praktik Kedokteran juga memberikan perlindungan umum kepada setiap orang dari praktik dokter/dokter gigi yang tidak mempunyai kualitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. “Oleh karena itu (pasal a quo) tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D UUD 1945,” terang Agus.
Mahkamah dalam persidangan ini juga mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan oleh Pemohon. Salah satunya, Dwi Waris Supriyono. Sebagai tukang gigi, Dwi Waris telah menjalankan profesi tukang gigi sejak tahun 1991. Sementara dari profesi tukang gigi tersebut, dia sudah bisa memberi nafkah keluarganya.
Namun dengan adanya Peraturan Pemerintah yang baru, dia merasa terancam akan keberadaannya dalam melaksanakan profesi sebagai tukang gigi. “Kami sebagai tukang gigi merasa terancam ketika ada sosialisasi dari media melarang kami sebaga tukang gigi,” terang Dwi Waris.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemohon menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak bisa memberi kepastian hukum dan juga bersifat multitafsir. “Sehingga jika ada bidang pekerjaan yang bersentuhan dan/ata ada kemiripan dengan pekerjaan dokter atau dokter gigi dianggap telah melakukan praktik kedokteran,” tutur kuasa hukum para Pemohon M. Sholeh Amin. “Oleh karena itu pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D UUD 1945.” (Shohibul Umam/mh)