Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 10 huruf b sepanjang frasa ‘…memperhatikan pendapat…masyarakat…’ pengujian UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitusional). Putusan dengan nomor 32/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya pada Senin (4/6).
“Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Pasal 10 huruf b sepanjang frasa ‘…memperhatikan pendapat…masyarakat…’ Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan secara bersyarat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ‘wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak’. Pasal 10 huruf b sepanjang frasa ‘…memperhatikan pendapat… masyarakat…’ Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak’,” urainya di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, Mahkamah dalam Putusan Nomor 25/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012, yang menjelaskan mengenai pengaturan dan penetapan wilayah pertambangan (WP). Mekanisme penetapan WP berupa kegiatan koordinasi, konsultasi, dan memperhatikan pendapat masyarakat, sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara manakala mekanisme tersebut dilakukan semata untuk memenuhi ketentuan formal-prosedural sebagaimana termuat dalam peraturan perundang-undangan dan mengaburkan tujuan utama yaitu untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warga negara yang seharusnya, dalam konteks sumber daya alam, dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Untuk lebih memperkuat fungsi kontrol masyarakat terhadap Pemerintah dan sekaligus untuk menjamin kepastian hukum yang adil baik bagi masyarakat secara umum maupun masyarakat yang secara khusus berada dalam WP dan masyarakat yang terkena dampak, menurut Mahkamah, fungsi kontrol tersebut tidak cukup hanya dilakukan melalui forum konsultasi dengan DPR RI, namun juga harus diperkuat melalui fungsi kontrol yang dilakukan langsung oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam WP dan masyarakat yang akan terkena dampak,” jelasnya.
Anwar kemudian menjelaskan Mahkamah lebih menekankan kepada terlaksananya kewajiban menyertakan pendapat masyarakat, bukan persetujuan tertulis dari setiap orang sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon. Hal ini karena menurut Mahkamah, bentuk keikutsertaan secara aktif dari masyarakat berupa keterlibatan langsung dalam pemberian pendapat dalam proses penetapan WP yang difasilitasi oleh negara c.q. Pemerintah, merupakan bentuk konkret dari pelaksanaan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.
“Selain itu, mekanisme lebih lanjut mengenai kewajiban menyertakan pendapat masyarakat tersebut dan siapa saja yang termasuk dalam kelompok masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan serta masyarakat yang akan terkena dampak, sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah untuk mengaturnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengacu pada pertimbangan hukum yang telah dinyatakan oleh Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 25/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012, Putusan Perkara Nomor 30/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012, dan putusan dalam perkara ini, dengan tetap menghormati dan menegakkan hak-hak asasi manusia. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas dan untuk menjamin hak-hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon beralasan untuk sebagian yakni sepanjang mengenai frasa ‘…memperhatikan pendapat…masyarakat…’ dalam Pasal 10 huruf b UU 4/2009,” paparnya.
Aturan IUP Eksplorasi dan IUPK Konstitusional
Selain itu, lanjut Anwar, Para Pemohon mendalilkan Pasal 162 juncto Pasal 136 ayat (2) UU 4/2009 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Selanjutnya pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan penyelesaian hak atas tanah tersebut dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.
“Sebelum sampai pada proses mendapatkan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi bagi para pelaku usaha di bidang pertambangan mineral dan batubara, negara c.q. Pemerintah harus melaksanakan terlebih dahulu kriteria-kriteria sebagaimana ditetapkan pada pertimbangan hukum Mahkamah di atas, sehingga sejak awal, penetapan suatu WP tidak hanya melalui proses koordinasi dengan pemerintah daerah dan konsultasi dengan DPR RI, namun juga telah melewati prosedur kewajiban untuk menyertakan pendapat, salah satunya adalah pendapat masyarakat, yang kesemuanya diperlukan untuk menjamin adanya kepastian hukum yang adil bagi Pemerintah, masyarakat di wilayah pertambangan, masyarakat yang terkena dampak, dan pelaku usaha pertambangan. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 162 juncto Pasal 136 ayat (2) UU 4/2009 tidak terbukti menurut hukum,” jelas Anwar.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, lanjut Anwar, Mahkamah berkesimpulan Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut. “Pokok Permohonan para Pemohon mengenai Pasal 10 huruf b UU 4/2009 beralasan menurut hukum untuk sebagian. Pokok Permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum,” terang Anwar. (Lulu Anjarsari/mh)