Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar pengujian UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Kamis (31/5). Sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini diketuai oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Dalam sidang tersebut, Para Pemohon yang merupakan warga negara perseorangan, telah melakukan perbaikan permohonan. Denni, salah satu Pemohon perkara Nomor 41/PUU-X/2012 ini, mengungkapkan Pemohon telah melakukan perbaikan sesuai dengan saran yang diberikan Majelis Hakim Konstitusi pada sidang sebelumnya. “Elaborasi sudah kami lakukan lebih dalam terutama mengenai kedudukan hukum Pemohon,” jelas Denni.
Akmal Fuadi menambahkan bahwa masalah utang negara ini harus dipikirkan bersama karena jika mengandalkan sengketa kewenangan lembaga negara, hal ini hanya akan lama tertunda. “Persoalan utang luar negeri bukan persoalan biasa. Dalam kurun waktu selama 3 tahun, (utang ini) sudah mengakibatkan kerugian negara yang terakumulasi (pembayarannya) selama 17 tahun. Hal ini harus menjadi perhatian, siapa yang akan bertanggung jawab atas kerugiannya?” urainya.
Majelis Hakim Konstitusi yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Muhammad Alim mengesahkan 11 alat bukti yang diajukan para pemohon. Sementara itu, menanggapi perbaikan permohonan yang dilakukan, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menjelaskan akan melaporkan mengenai perkara ini kepad rapat permusyawaratan hakim. “Saya akan melaporkan kepada rapat permusywaratan hakim untuk diperoleh keputusan apa (perkara ini) akan dilanjutkan atau tidak’” jelas Maria.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon memohonkan pengujian terhadap ketentuan Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara dan Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. Menurut Pemohon, sejak diberlakukan ketentuan tersebut terjadi peningkatan utang negara. Hal ini terjadi karena begitu mudahnya penandatanganan naskah perjanjian utang luar negeri yaitu dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pejabat yang mendapat kuasa dari Menteri Keuangan. Kerugian konstitusional para Pemohon juga terjadi karena dengan diberlakukannya pasal-pasal tersebut, hutang yang ditandatangani sekarang, dihabiskan sekarang namun yang harus membayar sampai kepada anak cucu nanti. (Lulu Anjarsari/mh)