Seseorang yang terbukti berperan aktif melakukan suatu tindak pidana korupsi, wajib hukumnya untuk dihukum minimal 4 tahun penjara. Sedangkan bagi seseorang yang terbukti melakukan suatu tindak pidana, tetapi kualitas perbuatan dia tidak dalam posisi berperan aktif, maka tidak selayaknya dia dijatuhi pidana 4 tahun penjara.
“Setidaknya tidak dijatuhkan pidana 4 tahun, tetapi di bawah 4 tahun,” kata kuasa hukum Pemohon, Habel Rumbiak, di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (11/5/2012) pagi. Sidang perkara 39/PUU-X/2012 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UUU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Pasal 2 ayat (1), diajukan oleh Herlina Koibur.
Herlina Koibur merupakan terpidana tindak pidana korupsi dengan ancaman penjara 4 tahun dan denda sebesar 200 juta rupiah. Apabila denda tersebut tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan. Herlina divonis Pengadilan Negeri Biak dengan hukuman tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang menyatakan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Selanjutnya, Herlina mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Jayapura. Herlina dijatuhi hukuman lebih ringan yaitu diancam dengan pidana penjara 2 tahun dan denda sebesar 200 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Alasan ancaman pidana 2 tahun lebih ringan dikarenakan Herlina telah ditunjuk oleh Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Supiori sebagai pelaksana kegiatan pengembangan produksi perikanan, pengembangan budidaya teripang, pelatihan pengolahan teripang dan peningkatan sumber daya nelayan. Namun dalam perjalanan pelaksanaan pekerjaan ini, Herlina tidak dilibatkan secara langsung. Sedangkan uang 3 juta yang diterima Herlina dari terdakwa lain, merupakan fee setelah pekerjaan pengadaan speedboad selesai dilaksanakan.
Menurut Habel Rumbiak, kuasa hukum Herlina, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang dijatuhkan kepada Herlina tidak proporsional dengan proporsi peran Herlina dalam perkara tindak pidana korupsi ini. Herlina tidak keberatan menjalani selama hukuman yang diterima proporsional dengan peran atau perbuatan yang dilakukannya. Herlina berharap mendapatkan keadilan yang substanstif. ”Artinya, sekalipun Pemohon memang harus dihukum, setidak-tidaknya dihukum dengan proporsi hukum yang adil,” kata Habel Rumbiak mendalilkan.
Melalui Habel Rumbiak, Herlina meminta kepada Mahkamah (petitum) mengabulkan permohonan. Menyatakan frasa “pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun” pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya konstitutional sepanjang dilaksanakan sebagai berikut: a. Bagi seseorang yang didakwa dan terbukti secara aktif melakukan tindak pidana yang dituduhkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, layak dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun penjara; b. Bagi seseorang yang didakwa dan terbukti secara aktif melakukan tindak pidana yang dituduhkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, dapat dipidana penjara di bawah 4 tahun.
Sidang uji materi UU Tipikor ini dilaksanakan oleh Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (Ketua Panel), Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman. Hamdan Zoelva menyarankan Pemohon membaca permohonan dan putusan uji materi UU Tipikor yang pernah diajukan ke MK. “Sehingga Saudara bisa memperoleh gambaran apa saja yang sudah pernah diuji, lalu bagaimana putusan Mahkamah,” nasihat Hamdan.
Selain itu, lanjut Hamdan, menurut ketentuan dalam Pasal 60 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MAHKAMAH KONSTITUSI dinyatakan, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. “Kecuali ada argumentasi-argumentasi yang secara konstitusional dapat dikategorikan lain dari batu uji yang pernah dipergunakan,” lanjut hamdan menasihati.
Anggota Panel Hakim Konstitusi Anwar Usman menyarankan Pemohon lebih mengelaborasi kerugian konstitusional akibat berlakunya pasal yang diujikan, dan bukan karena adanya putusan Mahkamah Agung. “Yang saya baca, Pemohon lebih menekankan pada putusan Mahkamah Agung yang merugikan Pemohon,” nasihat Anwar Usman. (Nur Rosihin Ana/mh)