Berangkat dari ketidakpastian hukum yang adil serta tidak mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum dengan adanya ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU No. 29/2004 tentang Praktek Kedokteran, perkumpulan Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (ASTAGIRI) yang diwakili oleh Dwi Waris Supriyono dan Muhammad Jubaidi, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Umum ASTAGIRI, mengajukan UU Praktek Kedokteran ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (10/5).
Selain ASTAGIRI selaku Pemohon I, permohonan tersebut juga diajukan oleh perorangan yakni Hamdani Prayogo selaku tukang gigi dan Pemohon II dalam perkara No. 40/PUU-X/2012 ini. Selain tidak memberi kepastian hukum, kata mereka Pasal a quo juga bersifat multitafsir. “Sehingga jika ada bidang pekerjaan yang bersentuhan dan/atau ada kemiripan dengan pekerjaan dokter atau dokter gigi dianggap telah melakukan praktik kedokteran,” tutur kuasa hukum para Pemohon M. Sholeh Amin.
Sementara dalam Ketentuan Pasal 73 ayat (2) berbunyi, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.”
Selanjutnya ketentuan Pasal 78 berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara-cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).”
Menurut penuturan para Pemohon, pada frase “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain…” bisa diartikan sama, identik atau mirip dengan pekerjaan “tukang gigi, tukang urut patah tulang, keterampilan tukang pembuat kaki palsu, dan lain-lain. Kesemuanya, kata mereka, dilarang karena dianggap menggunakan alat, metode atau cara lain yang dapat diartikan menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan dokter.
Lebih jauh lagi, larangan yang tercantum dalam UU tersebut, urai para Pemohon, juga disertai dengan ancaman pidana penjara yang sesuai dengan Pasal 78 UU tersebut. “Sementara rumusan norma perbuatan pidana tersebut tidak jelas dan tegas, serta tdak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam konstitusi,” terang Sholeh. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, salah satunya 28D Ayat (1).
Larangan Pemerintah
Para Pemohon juga menuturkan, akibat adanya pasal-pasal yang bersifat multitafsir ini, secara sepihak dengan No. 1871/menkes/per/1X/20111 tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No. 339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi, Pemerintah melalui Menteri Kesehatan melarang kepada tukang gigi untuk tidak menjalankan pekerjaannya lagi.
“Semua praktek tukang gigi tidak diperbolehkan untuk melaksanakan prakteknya,” tegas kuasa hukum para Pemohon M. Sholeh Amin tersebut.
Keputusan tersebut, lanjut para Pemohon, juga tidak memperhatikan hak-hak tukang gigi yang berjumlah 75.000 orang, yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. “Namun, apabila hanya tukang gigi yang dilarang untuk melaksanakan pekerjaannya, sedangkan pekerjaan lain tidak dilarang, hal demikian bersifat diskriminatif,” terang para Pemohon.
Majelis hakim konsitusi yang terdiri dari M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi (ketua), Hamdan Zoelva, dalam kesempatan itu juga memberikan nasehat-nasehat berkanaan dengan kedudukan hukum para Pemohon, alasan mengapa permohonan tersebut diajukan, dan petitum dalam permohonan para Pemohon. “Ini kan tukang gigi semua, tidak ada tukang urut tulang. Mengapa meluas ke tukang urut tulang juga? Fokus saja,” kata Fadlil Sumadi saat memberi nasehat kepada para Pemohon beserta kuasa hukumnya. (Shohibul Umam/mh)