Ratusan guru dari Kabupaten Banyumas yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) se-Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, secara bersama-sama berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/5). Kedatangan mereka diterima langsung Hakim Konstitusi M. Akil Mohctar, dan dilanjutkan dengan paparan sejarah singkat terbentuknya lembaga peradilan MK.
Kesempatan itu Akil mengatakan bahwa setelah reformasi pada tahun 1998 terjadi sebuah kesepakatan di kalangan masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. “Dengan adanya perubahan UUD, kita melakukan penataan kembali fungsi dan kedudukan sistem ketatanegaraan kita berdasarkan UUD yang telah diamendemen,” ucap hakim konstitusi tersebut.
Namun yang paling fundamental dalam bentuk perubahan saat itu, Akil melanjutkan, terdapat dalam perubahan Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945. Konsekuensi dari perubahan tersebut yakni dari kedaulatan rakyat yang kekuasaan penuh berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat berubah menjadi kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD 1945.
“Sehingga dengan kedaulatan ada ditangan rakyat menurut UUD itu mengakibatkan kita dari sistem pembagian kekuasaan kepada sistem pemisahan kekuasaan,” ujarnya. Hal demikian mengakibatkan, tambah Akil, masyarakat Indonesia menganut faham demokrasi konsitusional. “Artinya demokrasi ada di tangan rakyat, tapi dilakukan menurut asas-asas konstitusi. Disitulah kita melakukan perubahan,” tutur Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bandung itu.
Kemudian perubahan siknifikan berikutnya, lanjut Akil, adalah disebutkan dalam Pasal 1 Ayat 3 berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Hal demkian, menurutnya, memperkuat bahwa bangsa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis dan negara demokratis berdasarkan hukum. “Tetapi apabila negara demokrasi dilakukan sebabas-bebasnya maka terjadinya tirani mayoritas,” urai Akil.
Dan akhirnya mengapa ada MK dalam sistem ketatanegaraan negara Indonesia, menurutnya, karena pada saat amandemen masyarakat lebih memilih negara demokrasi konsitusional, dengan prinsip cheks and balances. “Sehingga kalau ada sengketa harus ada lembaga yang menyelesaikannya,” kata Akil. “Itu bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi,” tambahnya.
Disisi lain dari lembaga MK tersebut, menurut Akil, terdapat Kewenangan dan kewajiban yang disebutkan secara langsung dalam UUD 1945. Kewenangannya adalah MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selanjutknya, kata Akil, MK juga mempunyai satu kewajiban yakni MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. “Itulah kewenangan Mahkamah Konstitusi yang langsung dari Undang-Undang Dasar,” jelasnya.
Dalam perjalanannya, sambung Akil, perselisihan hasill Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Daerah) menjadi kewenangan MK juga, yang asalnya menjadi kewenangan dari lembaga peradilan Mahkamah Agung. “Itu satu-satunya kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tidak langsung dari Undang-Undang Dasar,” tegasnya. (Shohibul Umam/mh)