Sidang Perkara No 14/PUU-X/2012 dan 12/PUU-X/2012, yaitu sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman digelar kembali hari ini, Selasa (17/4). Sidang Perkara 14 yang dimohonkan Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP-APERSI) dan perkara 12 yang dimohonkan Adittya Rahman GS, Jefri Rusadi, dan Erlan Basuki itu beragendakan mendengar keterangan Ahli Pemohon.
Pengamat Properti dari Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda Prahanda memberikan keterangan sebagai Ahli yang diajukan Pemohon di hadapan Panel Hakim Konstitusi. Ali menyampaikan bahwa masalah yang diajukan Pemohon sudah menjadi masalah masyarakat luas. Dua tahun belakangan ini, lanjut Ali, banyak kebijakan dan UU yang kontraproduktif dengan visi pemerintah mengurangi deadlock masalah perumahan dan permukiman.
Sebab, Ali melihat UU Perumahan dan Kawasan Permukiman justru menimbulkan masalah baru. Seseorang yang merasa cukup dengan tipe rumah 21 dan hanya mampu menjangkau harga rumah tipe 21 menjadi tidak dapat mempunyai rumah. Memang benar bahwa rumah tipe 36 mementingkan kesejahteraan penghuninya, namun Pemerintah dan DPR tidak memikirkan aspek kemampuan atau keterjangkauan rakyat membeli rumah tipe 36. “Masyarakat bukannya tidak mau punya rumah tipe 36, tapi karena untuk membeli rumah tipe 36 itu masyarakat menengah ke bawah sudah setengah mati mau membelinya,” ujar Ali.
Sedangkan Mantan Menteri Perumahan Rakyat era Kabinet Indonesia Bersatu I, Muhammad Yusuf Asyari yang juga menjadi Ahli Pemohon menilai keputusan pemerintah yang hanya membolehkan pembangunan rumah minimal tipe 36 merupakan keputusan yang tidak tepat karena akan menyulitkan masyarakat berpendapatan rendah.
Yusuf menambahkan, keputusan pemerintah tersebut akan berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memiliki rumah. “Menetapkan ukuran lantai minimal 36 meter persegi per unit rumah akan lebih menyulitkan kaum dhuafa memiliki rumah sendiri yang layak huni,” imbuh Yusuf.
Lebih lanjut, Yusuf menyarankan, pengembangan rumah selanjutnya sebaiknya lebih menekankan konsep Rumah Inti Tumbuh (RIT). RIT merupakan kebijakan publik yang ramah terhadap kaum dhuafa karena membolehkan mereka membangun rumah inti kecil dengan catatan rumah tersebut akan diperluas sesuai kebutuhan keluarga dimaksud ke depannya. “Rumah Inti Tumbuh merupakan kebijakan publik untuk kaum dhuafa. Rumah bisa dibangun lebih kecil dan nantinya bisa diperluas dengan adanya pertambahan anak. Aturan ini seharusnya bisa diteruskan di tengah kesulitan ekonomi yang menimpa kaum dhuafa,” jelas Yusuf.
Pihak pemerintah juga tidak mau kalah, Pemerintah menghadirkan saksi yang memiliki rumah tipe 21 atau pernah memiliki tipe rumah 21.
Salah satu saksi yang diajukan Pemerintah, yaitu Samiri Sanjaya. Di hadapan Panel, Samiri menceritakan bahwa pada tahun 1979 ia menempati rumah tipe 21 yang dibelinya dengan mencicil. Rumah tipe 21 yang ditempatinya dan keluarga hanya memiliki satu kamar dan ruang tamu serta dapur yang berdekatan. Rumah tersebut juga memiliki ruang kamar mandi yang berada di luar dan berdekatan dengan ruang kamar mandi tetangganya. “Jadi kalau kita ke kamar mandi, kita bisa bertemu dengan tetangga. Itu kan rasanya tidak nyaman,” ujar Samiri.
Sedangkan saksi Pemerintah lainnya, Muhammad Zamroni justru menyampaikan keterangan yang tidak bermasalah dengan rumah tipe 21. Ia justru mengaku nyaman-nyaman saja tinggal di rumahnya yang bertipe 21. Pasalnya, ia mengaku saat ini hanya mampu membeli tipe rumah 21 yang harus dicicilnya tiap bulan dengan penghasilannnya maksimal 2 juta per bulan. (Yusti Nurul Agustin/mh)