Penetapan wilayah pertambangan merupakan politik hukum untuk membangun ketahanan energi nasional. Sehingga pemberian izin pertambangan harus dikendalikan melalui penetapan wilayah pertambangan terlebih dahulu oleh pemerintah. Apabila hal ini tidak dikendalikan, maka ketahanan energi nasional tidak dapat terjamin keberlanjutannya dan dalam hal ini akan mengancam ketersediaan energi nasional.
Hal ini dikemukakan oleh Zudan Arif Fakhrulloh selaku Ahli Pemerintah dalam sidang pengujian Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (12/4) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 10/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Ishan Noor dengan kuasanya Robikin Emhas dkk.
“Dalam tataran empirik, terdapat urusan-urusan pemerintahan yang tidak bisa paralel dengan batas wilayah administrasi. Urusan-urusan pemerintahan yang berbasiskan ekosistem atau berbasiskan ekologis. Misalnya urusan kelautan, urusan kehutanan, urusan pertambangan sulit sekali apabila harus diparalelkan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan. Oleh karena itu, terkait dengan kawasan kehutanan atau urusan kehutanan. Maka harus dipandang sebagai sebuah ekosistem, maka urusan kehutanan dapat bersifat melampaui batas administrasi daerah. Demikian pula urusan pertambangan, pelamparan tambang dapat melampaui kawasan-kawasan daerah administrasi,” urai Zudan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Menurut Zudan, batas-batas kewenangan daerah untuk urusan pemerintahan yang bersifat atau berbasiskan ekologis seringkali tidak sesuai apabila dikaitkan dengan batas administrasi daerah yang bersangkutan. Ia pun menjelaskan eksternalitas yang diciptakan oleh pelaksanaan urusan pemerintahan bidang kehutanan, pertambangan, dan kelautan yang berbasiskan ekologis sering melewati batas-batas administratif pemerintahan kabupaten kota. “Oleh karena itu, terhadap urusan pemerintahan yang bersifat lintas wilayah administrasi ini harus ada affirmative policy dari negara sesuai dengan politik hukum yang dibangun oleh negara,” paparnya.
Sementara itu, Ahli Pemerintah lainnya, yakni Hadiyanto mengemukakan potensi sumber daya mineral dan energi harus didelineasi secara nasional sebagai kawasan peruntukan pertambangan dalam rencana tata ruang nasional maupun tata ruang wilayah. Sinkronisasi pengusahaan mineral dan batu bara terhadap rencana tata ruang nasional maupun wilayah, perlu ditindaklanjuti dengan delineasi potensi mineral dan batu bara secara nasional agar lebih efisien dan terukur melalui delineasi Wilayah Pertambangan (WP), Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), dan Wilayah Pencadangan Rakyat (WPR) serta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Peran pemerintah pusat dalam penentuan WP, WUP, WPN, WPR, dan WIUP. Pembangunan database mineral batu bara dan komoditas energi dan sumber daya mineral lainnya, sudah dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
”Dengan memperhatikan prinsip-prinsip kegeologian dan mengacu kepada prinsip geologi yang sudah terbangun dengan baik, maka delineasi penetapan WP, WUP, WPN, WPR, WIUP, akan sangat tepat dan efisen kalau dilakukan oleh pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Robikin Emhas mendalilkan hak konstitusional pemohon terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 29, angka 30, angka 31, Pasal 6 ayat (1) huruf e, ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 huruf b dan huruf c, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Penjelasan Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19. (Lulu Anjarsari/mh)