Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Abu Bakar Ba`asyir yang menguji Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Permohonan Pemohon untuk Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, saat membacakan putusan di Jakarta, Rabu.
Menurut Mahfud yang didampingi tujuh hakim konstitusi, dalil pemohon untuk sebagian "ne bis in idem" (sebuah perkara dengan obyek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya).
Dalam pertimbangannya, mahkamah mengatakan bahwa Pasal 21 ayat (1) KUHAP, sudah pernah diputus oleh Mahkamah dalam permohonan Nomor 018/PUU-IV/2006, tanggal 20 Desember 2006 dan permohonan Nomor 41/PUU-VIII/2010, 10 Maret 2011.
Dalam Putusan Nomor 018/PUU-IV/2006, bertanggal 20 Desember 2006 tersebut, Mahkamah menyatakan pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan tersebut ditolak.
"Menimbang bahwa karena norma yang diuji sama, dan pasal yang dijadikan pengujian yakni Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 maka dalam permohonan a quo pengujian atas pasal tersebut adalah ne bis in idem, sehingga pertimbangan hukum dan amar putusan dalam perkara Nomor 018/PUU-IV/2006, tanggal 20 Desember 2006, mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo," kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, saat membacakan pertimbangan mahkamah.
Abu Bakar menguji pasal 21 ayat (1) KUHAP yang berisi perintah penahanan lanjutan bagi tersangka berdasarkan bukti yang cukup karena kekhawatiran dapat melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti tidak berdasar KUHAP
Menurut Abu Bakar dalam pasal tersebut juga disebutkan penahanan lanjutan dilakukan karena adanya kekhawatiran bagi tersangka akan melarikan diri dinilai terlalu subyektif.
Pemohon juga menilai implementasi dari pasal tersebut tidak konsisten, sehingga pihak penyidik "seenaknya" saja apakah terdakwa tersebut ditahan atau tidak.
Pasal 21 ayat (1) berbunyi: "Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana".