Lima kepala adat di wilayah Tembrauw, Papua, menguji konstitusionalitas Pasal 159 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (20/3). Melalui kuasanya, Edward Dewaruci, Pemohon menganggap bahwa ketentuan dalam pasal tersebut telah berpotensi mendiskriminasikan golongan minoritas dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Lima kepala adat itu adalah Hofni Ajoi, Maurits Major, Barnabas Sedik, Marthen Yeblo, dan Stevanus Syufi. Pengujian ini diregistrasi dengan nomor perkara 25/PUU-X/2012.
“Kami anggap dalam menentukan kemenangan dalam pilpres itu tidak memiliki keadilan bagi etnis minoritas,” ujar Edward. “Sehingga ada potensi bentuk diskriminasi secara terselubung dari etnis mayoritas terhadap etnis minoritas di Indonesia.”
Adapun Pasal 159 ayat (1) yang diuji tersebut berbunyi,“Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”
Ayat (2)-nya menyatakan: “Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.” Sedangkan ayat (3) merumuskan: “Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua ) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Kemudian ayat (4) menyebutkan, “Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) Pasangan Calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.” Dan ayat (5), “Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) Pasangan Calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.”
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut, khususnya kata “suara”, telah mengalami degradasi makna dengan penyebutan sebagai “suara pemilih”. Dengan kata lain, penyebutan itu telah mereduksi pengertian rakyat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. “Suara rakyat tidak bisa dikecilkan sebagai suara pemilih,” tegas Edward.
Pemohon berkesimpulan, pasal yang diuji itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1) dan ayat (4), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28H ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Karena itu, Pemohon meminta penafsiran kata ‘suara’ dalam ketentuan yang diuji tersebut adalah suara rakyat terbanyak. ”Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945,” pintanya.
Di samping itu, Pemohon menginginkan adanya perlakuan khusus terhadap etnis minoritas dengan cara memberikan pembobotan berbeda atas suara yang diberikan. “Tidak hanya sekedar satu pemilih satu suara,” ujarnya.
Selanjutnya, setelah Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonannya, Panel Hakim Konstitusi yang terdiri dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (ketua panel), Hakim Konstitusi Anwar Usman, dan Hakim Kostitusi Ahmad Fadlil Sumadi, memberikan beberpa saran perbaikan terhadap permohonan. Menurut Panel Hakim, pemohon perlu memperbaiki beberapa hal, diantaranya: argumentasi permhononan, kerugian konstitusional Pemohon, kejelasan penanggalan surat permohonan, serta terkait pemberian kuasa. (Dodi/mh)