Ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), salah merujuk pasal. Akibatnya, tidak dapat digunakkan untuk menjerat para pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa yang dengan sengaja melakukan pelanggaran pidana dalam pemilihan umum kepala daerah.
Demikian hal itu diungkapkan oleh Pemohon Heriyanto, dalam sidang pendahuluan perkara nomor 17/PUU-X/2012, Jum’at (24/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam hal ini, Heriyanto yang sehari-hari bertugas di Bagian Hukum Tim Asistensi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menguji Pasal 116 ayat (4) UU Pemda. Menurutnya, seharusnya pasal yang diuji ini merujuk pada Pasal 80, bukan Pasal 83 UU Pemda sebagaimana rumusan yang ada sekarang.
Pasal 116 ayat (4) UU Pemda tersebut berbunyi, “Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).”
Menurut Heriyanto, selama ini sebagai Tim Asistensi Bawaslu, pihaknya sering mendapat keluhan dari Panwas daerah akibat ketentuan tersebut. “Karena tidak dapat ditindaklanjuti,” ujarnya.
Akhirnya, lanjut dia, hal itu mengakibatkan dampak negatif terhadap kepentingan publik. Sebab, para pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa yang dengan sengaja melakukan pelanggaran tidak bisa dijerat sanksi pidana. “Hal tersebut telah menciderai prinsip-prinsip demokrasi,” tegasnya. “Telah menciptakan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan ketidakmanfaatan.”
Bahkan, dia berkesimpulan, aturan tersebut telah menyebabkan para pejabat kebal hukum. Sehingga, pasal itu telah memberikan perlakuan spesial kepada para pejabat ketika melakukan pelanggaran pidana Pemilu. “Kondisi ini melanggar equality before the law, persamaan di depan hukum,” tuturnya. Karena itulah dia kemudian menggunakan 4 (empat) batu uji dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1).
Di samping itu, menurut Heriyanto, jika dikaji dari sisi risalah sidang Panitia Khusus RUU Pemda Dewan Perwakilan Rakyat saat itu, maka akan diketahui bahwa sebenarnya pada awalnya rujukan pasal tersebut adalah Pasal 80, bukan Pasal 83 seperti sekarang. Dia mengakui telah mencoba melakukan perbandingan antara draft awal yang digunakan DPR, risalah sidang, dengan UU Pemda yang telah disahkan.
Oleh karena itu, dalam petitum permohonannya, dia meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan Pasal 116 ayat (4) UU Pemda sepanjang frasa “…sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83…”. “Diganti dengan ‘sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80’,” ucapnya.
Setelah mendengarkan pokok-pokok permohonan Pemohon, Panel Hakim yang terdiri dari Anwar Usman (Ketua Panel), Maria Farida Indrati, dan Muhammad Alim, memberikan beberapa saran perbaikan. Menurut Anwar dan Maria, petitum permohonan masih butuh perbaikan. “Petitum tidak lazim,” papar Anwar. “Saling bertentangan.” Selain itu, menurut mereka, permohonan Pemohon juga terkesan sedang melakukan pengujian formil, padahal pengujian formil memiliki batasan waktu dalam pengujiannya. (Dodi/mh)