Ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (UU Akuntan Publik) bersifat diskriminatif. Hal ini disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Fadjroel Falaakh dalam sidang lanjutan perkara dengan Nomor 84/PUU-IX/2011 yang digelar pada Rabu (22/2), di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon dalam perkara ini, yakni M. Achsin, Anton Silalahi, Yanuar Maulana, Rahmat Zuhdi dan M. Zainudin selaku Akuntan Publik.
“Ketentuan a quo mempersamakan antara akuntan publik yang melakukan tindak pidana dengan subjek hukum pidana lainnya. Subjek hukum yang sama, tetapi diperlakukan berbeda dan dikenai sanksi pidana yang sama. Yang melakukan tindak pidana di sini (Pasal 55 UU Akuntan Publik) sama dengan yang membantu melakukan tindak pidana. Hal ini dalam hukum pidana harusnya dibedakan. Harus dibedakan antara orang yang melakukan tindak pidana dengan yang membantu dilakukannya tindak pidana. Untuk itulah, ketentuan ini bersifat diskriminatif,” urai Fadjroel di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Selain itu, Fadjroel juga mengungkapkan UU Akuntan Publik bersifat inkoherensi antara satu pasal dengan apasal lainnya. Hal itu, lanjut Fadjroel, terlihat dalam inkonherensi dalam Pasal Pasal 30 ayat (1) juncto Pasal 53 UU Akuntan Publik dengan Pasal 55 UU Akuntan Publik. “Hal ini karena pada dasarnya Pasal 53 ayat (1) mengkualifikasikan tindakan Pasal 30 ayat (1) huruf c dan diancam sanksi sebagai pelanggaran administratif. Akan tetapi, dalam Pasal 55 UU Akuntan Publik mendudukkan pelanggaran administratif itu sebagai pelanggaran tindak pidana. Akan tetapi, UU tidak memberikan kualifikasikan perbuatan yang dideksripsikan sama dalam hal apa dari pelanggaran administratif berubah menjadi tindak pidana. Inkoherensi ini menunjukan ketidakpastian hukum yang adil dalam Pasal 28J UUD 1945,” kata Fadjroel sebagai Ahli Pihak Terkait, yakni Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).
Dalam sidang tersebut, IAPI juga mengajukan keterangan sebagai Pihak Terkait. Menurut IAPi, Pasal 55 dan Pasal 56 UU Akuntan Publik tidak sesuai dengan karakteristik profesi akuntan publik. Kata ‘manipulasi’ dalam UU Akuntan Publik dinilai terlalu general (umum) dan disamakan dengan kata ‘pemalsuan’ yang bersifat ‘spesifik’. Menurut IAPI, hal tersebut menimbulkan kriminalisasi terhadap akuntan publik dan menyebabkan tumpang-tindihnya permasalahan. Pemerintah dinilai IAPI tidak perlu untuk mengambil alih aturan dari asosiasi. “Jangankan sanksi pidana atau pencabutan izin, berita negatif di media yang belum tentu benar saja, akan berakibat terhadap profesi akuntan publik,” ujar perwakilan IAPI.
Sementara Etty Retno Wulandari yang merupakan Ahli Pemerintah menjelaskan UU Akuntan Publik bertujuan untuk melindungi masyarakat. Sanksi Pidana dalam UU Akuntan Publik merupakan hal wajar terutama mengenai keaslian kertas kerja yang dihasilkan oleh akuntan publik. “Kertas kerja bukan merupakan ancaman bagi akuntan publik. Hanya memastikan akuntan publik bekerja sesuai dengan standar yang berlaku,” jelasnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal 55 huruf a UU tersebut yang memuat frasa “manipulasi” sulit dipahami karena perbuatan manipulasi tidak dikenal dalam rumusan dasar KUHP sebagai ketentuan pokok dalam hukum pidana. Rumusan yang diatur dalam KUHP adalah pemalsuan surat. Selain itu, Pasal 55 huruf b UU Akuntan Publik bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, karena Pasal tersebut telah menciptakan rasa tidak aman atau ketakutan yang amat sangat sehingga Para Pemohon tidak merasa tidak bebas menjalankan profesinya untuk berbuat atau tidak berbuat.(Lulu Anjarsari/mh)