Permohonan sengketa kewenangan antarlembaga negara (SKLN) yang diajukan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) terhadap Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan perkara 5/SKLN-IX/2011 yang digelar pada Rabu, (8/2/2012) sore, menyatakan permohonan KKAI tidak dapat diterima.
KKAI memohon kepada Mahkamah untuk memutus SKLN antara KKAI dengan MA RI. KKAI mendalilkan bahwa dengan terbitnya Surat MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 juncto Surat Nomor 052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011, MA dianggap memiliki kewenangan mengatur organisasi profesi Advokat, dengan mencantumkan nama PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) dan KAI (Kongres Advokat Indonesia). Hal ini menurut KKAI seolah-olah telah ada kesepakatan di hadapan MA bahwa satu-satunya wadah profesi Advokat adalah PERADI.
Dua surat yang diterbitkan MA tersebut dianggap KKAI telah melampaui batas kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Sebab organisasi PERADI dan KAI tidak ditemukan di dalam UU Advokat. Penetapkan nama PERADI dan KAI juga dianggap KKAI sebagai bentuk diskriminasi, serta intervensi dengan cara menghambat KKAI dalam menjalankan fungsi organisasi Advokat.
Menurut Mahkamah, SKLN yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 harus memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum sebagai berikut: a. Para pihak yang bersengketa (subjectum litis) yaitu Pemohon dan Termohon harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; b. Kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis) harus merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945; c. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yang dipersengketakan.
Sementara itu, KKAI bukanlah lembaga negara dan tidak disebut dalam UUD 1945 sehingga menurut Mahkamah, permohonan KKAI bukan merupakan SKLN sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 61 ayat (1) UU MK, Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. (Nur Rosihin Ana/mh)