Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang disengketakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selaku Pemohon terhadap Komisi Pemilhan Umum (KPU) selaku Termohon I dan Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP Aceh) selaku Termohon II, akhirnya memasuki sidang pembacaan putusan. Dalam perkara No. 1/SKLN-X/2012 ini, Mahkamah memerintahkan KIP Aceh untuk menunda pemungutan suara, paling lambat 9 April 2012.
”Maka, KIP Aceh dapat menyesuaikan jadwal pemungutan suara sesuai dengan kondisi yang ada dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi terciptanya Pemilukada Provinsi Aceh yang tidak cacat hukum, serta terlaksananya Pemilukada Provinsi Aceh yang memenuhi prinsip-prinsip Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E UUD 1945, yaitu paling lambat 9 April 2012,” tulis Mahkamah.
Pertimbangannya, kata Mahkamah, pada persidangan tanggal 27 Januari 2012, KIP Aceh telah melaporkan pelaksanaan putusan sela MK No. 1/SKLN-X/2012 tanggal 16 Januari 2012 sekaligus menjelaskan bahwa secara teknis-prosedural tidak mungkin pelaksanaan pemungutan suara dilakukan tanggal 16 Februari 2012.
Selain itu, menurut Mahkamah, penentuan batas waktu ini dilakukan untuk menegakkan ketiga fungsi dan tujuan hukum tersebut yakni, kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. ”Dengan penentuan waktu dalam putusan ini maka kepastian hukum dapat diperoleh karena ada putusan pengadilan yang dapat mengakhiri kontroversi,” tulis Mahkamah dalam pertimbangannya.
Dengan berlaku kaidah itu, Mahkamah juga biasanya mendasari yurisprudensi/fiqh Islam termasuk Qanun, yang menyatakan “hukmul haakim yarfa’ul khilaaf” (putusan hakim menjadi dasar untuk mengakhiri perbedaan/kontroversi).
Lebih dari itu, menurut Mahkamah, dengan adanya penentuan waktu pemungutan suara pada Pemilukada Aceh, bisa mengakomodasi semua kepentingan, sehingga asas kemanfaatan hukum pun dapat dinikmati karena masa depan harmoni sosial, politik, dan keamanan di Aceh lebih terjamin. ”Dari dasar-dasar tersebut, Mahkamah memberikan jalan bagi perlunya menyelamatkan rakyat,” tegas Mahkamah. ”Hal ini didasarkan juga pada prinsip universal tentang hukum tertinggi yang berarti keselamatan rakyat, bangsa, dan negara adalah hukum yang paling tinggi bagi negara.”
Sedangkan dalam eksepsi Termohon II dan Pihak Terkait yakni Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh mengatakan bahwa Subjectum litis dan objectum litis permohonan tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan menyatakan permohonan Pemohon kabur karena tidak merinci jelas kewenangan Pemohon yang diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh KIP Aceh (Termohon II). Setelah memahami eksepsi tersebut, menurut Mahkamah, benar di dalam Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, namun tidak berarti menteri dalam perkara SKLN dapat serta merta menjadi Pemohon, karena menteri bukan lembaga negara yang berdiri sendiri seperti DPR, MA, dan sebagainya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, meskipun menteri disebut dalam UUD 1945 namun menteri tidak termasuk dalam lembaga negara yang dapat bertindak sendiri sebagai Pemohon SKLN.
Oleh karena itu, Mahkamah menimbang, pokok permohonan tentang SKLN tidak dipertimbangkan, maka keberatan Pihak Terkait dalam perkara tersebut menjadi tidak relevan untuk dipertimbangkan. ”Eksepsi Termohon II dan Pihak Terkait terbukti dan beralasan menurut hukum,” jelas Mahkamah. ”Oleh karena itu, pokok permohonan tidak dipertimbangkan.”
Dalam Amar Putusan MK menyatakan: Dalam Provisi, Menguatkan Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 1/SKLN-X/2012, tanggal 16 Januari 2012 dengan ketentuan KIP Aceh hanya dapat menyesuaikan tahapan Pemilukada Aceh 2012-2017 sesuai dengan kondisi yang ada dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemungutan suara dilaksanakan selambat-lambatnya 9 April 2012. ”Dalam Eksepsi, Mengabulkan eksepsi Termohon II dan eksepsi Pihak Terkait; Dalam Pokok Permohonan, Permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Mahfud selaku pimpinan sidang. (Shohibul Umam/mh)