Mahkamah Konstitusi (MK) mengawali tahun 2012 ini dengan antrian sidang perkara Pengujian Undang-Undang dan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah pada Rabu, (4/1). Salah satu sidang yang digelar awal tahun ini, yaitu sidang perkara PUU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sidang yang teregistrasi dengan No. 74/PUU-IX/2011 ini memasuki sidang ketiga yang beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Sekedar mengingatkan kembali, Pemohon pada perkara ini, yaitu Organisasi Advokat Indonesia yang diwakili Prinsipal Pemohon, Ketum OAI, Virza Roy Hizzal. Pada persidangan sebelumnya Virza mengatakan bahwa Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen merupakan suatu bentuk kriminalisasi yang dilegalkan melalui undang-undang.
Virza yang merupakan kuasa hukum terdakwa kasus iPad Dian Yudha Negara dan Randy Lester Samusamu, menilai bahwa kedua pasal tersebut bersifat kabur (tidak pasti) sehingga berpotensi multitafsir.
Dia juga mengungkapkan bahwa Pasal 62 ayat (1) UU ini menempatkan sanksi kepada pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang tidak mencantumkan petunjuk bahasa Indonesia ke dalam ranah pidana yang seharusnya adalah ranah perdata.
Wakil Pemerintah, Nur Nuzulia Ishak mendapat kesempatan untuk menyampaikan opening statement pemerintah. Menurut Pemerintah, Pemohon kurang tepat sebagai pihak yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang ini karena ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut tidak terkait dengan kegiatan tugas dan fungsi Pemohon sebagai badan hukum privat yang merupakan Organisasi Advokat Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Sedangkan berdasarkan rumusan Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen yang seharusnya menjadi subjek hukum adalah pelaku usaha, konsumen, atau lembaga perlindungan konsumen. Pemerintah juga menganggap Pemohon tidak dirugikan secara langsung dengan berlakunya UU tersebut.
Sedangkan wakil DPR yang hadir, Yahdil Abdi Harahap mengatakan di dalam permohonan Pemohon tidak dikemukakan mengenai kerugian konstitusional Pemohon atas berlakunnya Pasal 8 Ayat 1 huruf j dan Pasal 62 Ayat 1 UU Perlindungan Konsumen.
Selain itu, Yahdil juga mengungkapkan bahwa pihak DPR sependapat dengan Pihak Pemerintab bahwa tidak ada kerugian konstitusional atau kerugian bersifat potensial yang dapat menimpa Pemohon dengan berlakunya Pasal 8 ayat (1) huruf j dan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen.
“Dalam permohonan a quo, Pemohon tidak mengemukakan secara jelas dan konkrit mengenai kerugian hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon sebagai akibat berlakunya Pasal 8 ayat (1) huruf j dan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Pemohon hanya mengemukakan beberapa kasus tindak pidana yang saat ini sedang diproses di Jakarta Pusat mengenai penjualan Ipad tanpa disertai dengan buku petunjuk manual berbahasa Indonesia,” papar Yahdil.
Ahli dari Pemohon, Rahmat Bagja menjadi orang terakhir yang menyampaikan keterangannya di hadapan Pleno Hakim Konstitusi yang diketuai sendiri oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Rahmat menyampaikan bahwa UU Perlindungan Konsumen tidak memisahkan antara ranah privat dan pidana adalah hal yang sangat menyedihkan. Pasalnya, negara terkesan lebih mengutamakan jalan terakhir yang lebih menekankan pada premium remidium, bukan ultimum remidium. ”Karena UU Perlindungan Konsumen adalah perlindungan di bidang keperdataan dan proses yang diatur adalah proses jual-beli, maka negara seharusnya melindungi proses yang terjadi antara penjual dan pembeli, bukan kemudian mengintervensi dan mempidanakan warga negaranya yang telah melakukan jual-beli produk yang sangat jelas tidak melanggar UU Hak Cipta,” jelasnya panjang-lebar.
Selaku pakar HAM, Rahmat menegaskan bahwa negara seharusnya menjaga warga negaranya dari pihak ketiga yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Rahmat telah mengindikasikan bahwa Pemerintah dan DPR melalui UU ini telah melakukan pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, budaya warga negaranya. ”Mahkamah Konstitusi sebagai subnegara melakukan tugasnya untuk menjaga hak ekonomi, sosial, budaya yang diajukan oleh Pemohon. Sehingga dapat saya lihat dari beberapa ajuan dari Pemohon bahwa kasus yang terjadi adalah kasus-kasus yang sengaja untuk menjebak warga negara dalam melakukan proses jual-beli,” imbaunya sekaligus menutup paparannya. (Yusti Nurul Agustin/mh)