Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang dimohonkan oleh pasangan calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Yapen Tonny Teaser-Frans Sanadi. Amar putusan dengan Nomor 63/PUU-IX/2011 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Mahkamah mempertimbangkan karena permohonan memiliki kesamaan pokok permohonan dalam Putusan Nomor 129/PUU-VII/2009, tanggal 2 Februari 2010 dan Putusan Nomor 36/PUU-IX/2011, tanggal 23 Agustus 2011, maka seluruh pertimbangan hukum dalam putusan-putusan tersebut mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam permohonan ini. “Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon, maka kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan,” tutur Fadlil.
Fadlil memaparkan bahwa Mahkamah telah memutus permohonan yang sama, yaitu Putusan Nomor 129/PUUVII/2009, tanggal 2 Februari 2010 dan Putusan Nomor 36/PUU-IX/2011, tanggal 23 Agustus 2011. “Dalam putusan tersebut Mahkamah, antara lain mempertimbangkan, ‘…bahwa apabila Mahkamah menguji materi pasal-pasal yang dimohonkan dalam permohonan a quo, maka secara tidak langsung Mahkamah akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945, yang berarti Mahkamah akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945. Adapun dipilihnya pasal-pasal lain dari UUD 1945 untuk menjadi dasar batu uji dalam permohonan pengujian materiil yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian bukan menjadi kewenangan Mahkamah karena keberadaan pasal-pasal dalam UUD 1945 adalah pilihan dari pembuat UUD 1945 dan Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk menilai pilihan pembuat UUD 1945 tersebut’,” kata Fadlil.
Selanjutnya, Fadlil menjelaskan, meskipun permohonan Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK dan Penjelasannya, khususnya permohonan untuk mengecualikan sifat final putusan Mahkamah terhadap Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, namun menurut Mahkamah, jika Mahkamah mengecualikan putusan final terhadap Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah justru Mahkamah akan membatasi makna Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berarti Mahkamah telah menguji konstitusionalitas Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Selain itu, lanjut Fadlil, Pasal 106 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, “Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat”. “Berdasarkan Pasal 263C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan, ‘Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan’, sehingga kewenangan mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,” urainya.
Oleh karena itu, dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, menyimpulkan bahwa Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili permohonan tersebut dan Kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Mahfud membacakan amar putusan. (Lulu Anjarsari/mh)