Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diuji ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pertama digelar pada Selasa, (25/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon dalam perkara nomor 74/PUU-IX/2011 ini adalah Organisasi Advokat Indonesia (OAI), yang diwakili oleh Virza Roy Hizzal. Dalam permohonannya, Pemohon menguji Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen.
Pada kesempatan itu, Virza hadir tak sendiri. Dalam sidang panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim tersebut, dia hadir bersama para kuasa hukumnya, antara lain: Hadi Sahroni, Jainuri dan Joko.
Hadi Sahroni, menyampaikan, fokus pengujian mereka adalah ingin menghapus pasal yang berisi ketentuan pemidanaan bagi pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, menurut dia, pemidanaan dalam konteks perlindungan konsumen pada pasal yang diuji adalah suatu yang berlebihan dan multitafsir.
Adapun Pasal 8 ayat (1) huruf j berbunyi, “(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: … j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.”
Sedangkan Pasal 62 menyatakan, ”(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”
Menurut Hadi, sanksi pidana pada ketentuan tersebut hanya akan melahirkan ketakutan di masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha atau perniagaan. Seharusnya, lanjut dia, kalaupun memang ada ketentuan untuk melindungi konsumen, sebaiknya diselesaikan melalui cara-cara non-penal atau berupa sanksi keperdataan. “Seperti complain, somasi, teguran, atau sanksi administratif,” tuturnya. “Penegasian atau peniadaan atas sarana-sarana non-penal ini telah bertentangan dengan keadilan.”
Oleh karena itu, Pemohon berpandangan, ketentuan tersebut telah bertentanngan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28D dan Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, bertentangan juga dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Karena, bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. “Esensinya, tidak memiliki kepastian hukum untuk diterapkan,” tegas Hadi.
Setelah menguraikan pendapatnya tersebut, Panel Hakim yang beranggotakan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Anwar Usman, kemudian memberikan beberapa saran dan masukan kepada Pemohon. Menurut Hamdan, Pemohon perlu lebih menegaskan dan menguraikan lagi terkait dua hal, yakni posisi kebebasan berkontrak dengan perlindungan kepentingan publik. “Stressing point terhadap titik singgung kedua hal tersebut,” pesan Hamdan.
Sedangkan Anwar Usman menyoroti petitum permohonan. “Petitum kurang lazim,” ujarnya. Dalam petitum permohonannya, diantaranya, Pemohon meminta provisi (putusan sela) dan mencabut peraturan menteri.
Sebelumnya, permohonan ini juga terkait dengan penangkapan dua ‘pedagang online’, Dian Yudha Negara dan Randy Lester Samu, yang dibekuk polisi karena tidak menyertakan petunjuk dalam bahasa Indonesia pada barang dagangannya, yakni iPad. Randy dan Dian, oleh kepolisian, dikenai ketentuan yang diuji para Pemohon kali ini. (Dodi/mh)