Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian permohonan pengujian terhadap Undang-Undang No. 8/2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Putusan perkara dengan Nomor 48/PUU-IX/2011 dan 49/PUU-IX/2011 dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya.
Permohonan No.48 untuk menguji UU MK dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimohonkan oleh Fauzan, sedangkan No.49 dimohonkan oleh para Dosen Ilmu Hukum Tata Negara seperti Saldi Isra, Yuliandri, Zainul Daulay, Zainal Arifin Mochtar, Muchammad Ali Safa’at, Fatmawati, dan Feri Amsari.
Ultra Petita
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Mahfud dalam Sidang Pleno MK pada Selasa (18/10).
Larangan MK memutus ultra petita (melebihi permohonan), menurut Mahkamah bahwa karakter hukum acara di MK terutama dalam perkara pengujian Undang-Undang adalah untuk mempertahankan hak dan kepentingan konstitusional yang dilindungi oleh konstitusi, sebagai akibat berlakunya suatu Undang-Undang yang berlaku umum (erga omnes). Oleh karena itu apabila kepentingan umum menghendaki, Hakim Konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan. “Kalaupun yang dikabulkan dari permohonan Pemohon misalnya hanya menyangkut satu pasal saja, akan tetapi apabila dengan dinyatakannya pasal tertentu tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan pasal tersebut adalah pasal inti dari Undang-Undang maka pasal lain dalam Undang-Undang yang dimohonkan diuji menjadi tidak mungkin untuk diperlakukan lagi,” terang Mahkamah.
Selain itu, MK berpendapat putusan ultra petita lazim dilakukan MK negara lain dan sesuai juga dengan prinsip ex aequo et bono. Larangan ultra petita hanya diatur dalam hukum acara perdata yang dipahami untuk melindungi kepentingan para pihak dan dalam perkembangannya sendiri diperkenankan. “Peristiwa pertama lahirnya lembaga constitutional review adalah di Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat tahun 1803 dalam perkara Marbury vs Madison, yang dalam putusannya Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat justru jauh melebihi dari yang dimohon (ultra petita),” jelas Mahkamah menunjukkan sejarah judicial review lahir dari putusan ultra petita. Sedangkan terkait pengujian UU Narkotika, MK berpendapat dalil Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum.
UU Satu Kesatuan
Terkait dengan perkara No.49, dalam amar putusan yang dibacakan Moh. Mahfud MD menyatakan, “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g), dan ayat (4h), Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) huruf h sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.”
Terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 50A UU 8/2011 yang mengatur MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 tidak menggunakan undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat dalil tersebut beralasan hukum. Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mengemukakan pelarangan terhadap Mahkamah untuk menggunakan Undang-Undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum adalah mereduksi kewenangan Mahkamah sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan Undang-Undang lain, lanjut Akil, sebagai dasar pertimbangan hukum justru untuk menciptakan kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Dalam praktik Putusan Mahkamah terkait dengan pengujian materil Mahkamah tidak pernah menggunakan Undang-Undang sebagai dasar pertimbangan, akan tetapi dalam permohonan-permohonan tertentu, Mahkamah harus melihat seluruh Undang-Undang sebagai satu kesatuan sistem yang tidak boleh bertentangan satu dengan yang lain sehingga apabila Mahkamah menemukan ada satu UndangUndang bertentangan dengan Undang-Undang lain, hal itu berarti bertentangan dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu menurut Mahkamah jika pasal a quo diterapkan maka akan membatasi tugas dan fungsi Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum,” urai Akil.
Kriteria Tidak Jelas
Selanjutnya, dalil para Pemohon mengenai frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 8/2011 tidak memberikan kriteria yang jelas. Akil menjelaskan hal itu karena tidak semua orang yang pernah menjadi pejabat negara memenuhi syarat untuk menjadi hakim konstitusi. Sebaliknya, jelas Akil, banyak orang yang belum pernah menjadi pejabat negara tetapi memenuhi syarat untuk menjadi hakim konstitusi. “Karena ketidakjelasan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum,” jelasnya.
Usia Kebijakan Terbuka
Selanjutnya, dalil pemohon mengenai pembatasan usia hakim konstitusi seperti yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 8/2011, dinilai oleh Mahkamah beralasan hukum. Dalam kaitan dengan kriteria usia, jelas Akil, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. “Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian dalil para Pemohon tentang ketentuan syarat usia minimum tidak beralasan menurut hukum,” paparnya.
Lima Tahun
Sedangkan, terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 26 ayat (5) UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah memberikan pertimbangan bahwa masa jabatan hakim konstitusi yang ditentukan dalam Pasal 22 UU MK tidak dapat ditafsirkan lain kecuali lima tahun, baik yang diangkat secara bersamaan maupun bagi hakim konstitusi yang menggantikan hakim konstitusi yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir. Mempersempit makna Pasal 22 UU MK dengan tidak memberlakukannya bagi hakim konstitusi pengganti untuk menjabat selama lima tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin konstitusi. Selain itu, urai Akil, jabatan hakim konstitusi berbeda dengan jabatan negara yang lainnya karena adanya faktor konsistensi dan kesinambungan, terkait baik dengan proses maupun putusan-putusan yang dihasilkan.
“Yang menjadi pertimbangan untuk masa jabatan hakim konstitusi adalah adanya jaminan konsistensi dan kesinambungan dalam proses dan putusanputusan Mahkamah yang sangat terpengaruh oleh lamanya masa jabatan hakim konstitusi, terkait dengan pendapat hukum dan kemandirian hakim. Oleh sebab itu, akan lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila masa jabatan hakim konstitusi yang menggantikan tetap lima tahun. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo beralasan menurut hukum,” ujar Akil.
Dissenting Opinion
Hakim Konstitusi Harjono mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Perkara No.49. Dengan putusan pengujian terhadap Pasal 50 UU 24/2003, Harjono mengungkapkan sebenarnya Mahkamah termasuk hakim konstitusi tidak mengambil keuntungan apa pun karena dengan dinyatakan Pasal 50 UU 24/2003 yang lama sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dengan adanya pasal tersebut dapat menyebabkan dua norma berlaku bersama. “Meskipun keduanya terdapat pertentangan dan pula membiarkan adanya standar ganda yang disebabkan norma yang satu diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar sedangkan norma yang lain diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar,” paparnya.
Dalam perkara sekarang ini seharusnya Mahkamah sangat hati-hati karena yang diperiksa UU yang berkaitan dengan Mahkamah langsung. Dengan berbagai pertimbangan Pasal 87 huruf b UU 8/2011menurut Harjono seharusnya ditolak. (Lulu Anjarsari/Miftakhul Huda)