Tidak dibagikannya dana bagi hasil dari Pajak Badan kepada daerah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan, telah merugikan beberapa pemerintah daerah, khususnya bagi daerah yang terdapat wilayah pertambangan. Karena, dampak rusaknya lingkungan dan tatanan sosial tidak setimpal dengan pendapatan yang diterima oleh daerah. Demikian setidaknya yang diungkapkan oleh ahli dan saksi yang dihadirkan oleh Pemohon dalam perkara nomor 44/PUU-IX/2011, Rabu (28/9) di ruang sidang Pleno MK.
Beberapa fakta dapat dilihat langsung pada beberapa daerah. Salah satunya yang terjadi pada Kabupaten Timika, Papua. Menurut Kepala Bidang Geologi dan Mineral Pemda Kab. Timika Septianus Soulmalena, telah terjadi ketimpangan fiskal dan beban anggaran di daerahnya.
Dia menambahkan, pihaknya pernah melakukan penelitian dengan melibatkan para akademisi untuk menguji tingkat pencemaran lingkungan pada beberapa sungai di Timika. Hasilnya, kata dia, tingkat konsentrasi logam berat telah melebihi ambang batas. “Sudah tercemar dan mengancam keberlangsungan biota yang ada disungai,” ujarnya.
“Selama sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan bentang alam yang cukup signifikan,” lanjut Septianus. “Terutama pada wilayah pesisir dan pantai.” Hal ini terjadi, menurutnya, dikarenakan matinya mangrove di sekitar wilayah tersebut.
Dampak buruk terhadap alam itu diperparah lagi dengan menurunnya kualitas hidup masyarakat sekitar wilayah pertambangan. Akibatnya, beban biaya sosial semakin meningkat pula.
Pernyataan senada diungkapkan saksi lainnya, yakni Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat Musyafirin. Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan bahwa dengan adanya aktivitas pertambangan di wilayahnya telah mengakibatkan dampak lagsung maupun tidak langsung.
Menurut Musyafirin, dana pembangunan yang diperoleh dari program Corporate Social Responsibility (CSR) tidak berdampak secara signifikan terhadap pembangunan di Sumbawa Barat. “Tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap upaya percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” paparnya.
Meskipun ada, sambungnya, program CSR tersebut tidak difokuskan kepada wilayah yang terkena dampak langsung, melainkan kepada masyarakat provinsi ataupun secara nasional. “Bukan difokuskan pada masyarakat setempat,” katanya.
Menurutnya, hal itu tidak memberikan perimbangan yang mencerminkan asas proporsional, demokratis, dan adil. Jika dikalkulasi, ketimpangan pendapatan yang diperoleh dari aktivitas penambangan dengan pendapatan yang diterima oleh daerah sangatlah besar. “Harus menunggu 147 tahun baru sama dengan satu tahun kekayaan alam yang dkuras,” tegas Musyafirin yang juga menjabat sebagai Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Pemda Sumbawa Barat itu coba mengilustrasikan.
Perlu Reformulasi
Sedangkan ahli yang dihadirkan Pemohon pada persidangan saat itu, Machfud Sidik, menjelaskan bahwa perlu ada reformulasi perpajakan di Indonesia, khususnya terkait perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Menurutnya, formulasi perpajakan yang ada saat ini menimbulkan banyak distorsi dan memunculkan upaya-upaya yang tidak patut oleh oknum-oknum pemerintahan. “Struktur perpajakan kita kurang menguntungkan,” jelasnya.
Meskipun, dia memberi catatan, bahwa tingkat kepuasan dalam hal perimbangan keuangan sulit untuk dicapai. “Tidak mungkin memberikan kepuasan pada semuan orang,” imbuhnya.
Setelah mendengarkan seluruh keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh pemohon, sidang pun ditutup oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD yang saat itu bertindak sebagai Ketua Pleno Hakim. Untuk sidang selanjutnya, akan digelar, Selasa (4/10) siang. Rencanannya, Pemerintah akan menghadirkan tiga ahli. (Dodi/mh)