Jakarta, MK Online - Materi UU 35/2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) memuat definisi yang rancu menyangkut penyalahgunaan narkotika. Demikian dikatakan Asmin Fransisca saat didaulat sebagai Ahli Pemohon dalam sidang pleno uji materi UU Narkotika (Perkara Nomor 48/PUU-IX/2011) Kamis, (22/9/2011) bertempat di ruang sidang pleno MK.
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dan Koordinator Indonesian Coalition for Drug Policy Reform (ICDPR) ini menyebutkan tiga definisi materi pasal dalam UU Narkotika yang menurutnya rancu, yaitu definisi Pasal 1 angka 13, Pasal 1 angka 15, dan Penjelasan Pasal 54.
“Kerancuan terjadi di dalam Pasal 1 angka 13 dan 15, dalam Undang-undang ini pecandu narkotika dapat menjadi penyalahguna dan pengguna narkotika dengan berbagai faktor, berpotensi sangat besar menjadi penyalahguna juga. Padahal dua definisi ini mempunyai konsekuensi yang berbeda, yaitu yang pertama adalah rehabilitasi, sementara definisi yang lain adalah pemidanaan penjara,” terang Fransiska.
Kerancuan ini, lanjut Fransiska pada prakteknya menyulitkan pihak penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan. Kerancuan definisi ini membuat kepastian hukum bagi pecandu dan penyalah guna menjadi kurang terjamin, manakala penegak hukum menerapkan pasal pemidanaan tunggal, yaitu Pasal 112 yang menerangkan tentang kepemilikian, penguasaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Membingungkan
Materi UU Narkotika tersebut, menurut Fransiska, cukup membingungkan. Di satu sisi penyalahguna dan pecandu mempunyai hak layanan kesehatan dan sosial melalui proses rehabilitasi yang akan ditentukan oleh hakim kemudian. Namun, di pihak lain, mereka berpotensi besar untuk dipidana dan kehilangan hak atas layanan rehabilitasi tersebut.
Padahal dalam Pasal 127 UU Narkotika Pasal 127 secara jelas mengatur bahwa hakim wajib memperhatikan ketentuan tentang rehabilitasi sesuai dengan Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 bagi penyalah guna. “Hal ini berarti, nuansa dari hak atas kesehatan, layanan kesehatan, cukup diperhatikan melalui undang-undang ini,” papar Fransiska.
Berbeda dengan Pasal 112 UU Narkotika yang mengatur tentang orang yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, dan menguasai penyediaan narkotika, yang menutup kemungkinan para pengguna atau pecandu yang dianggap melanggar Pasal 112 untuk mengakses langsung program layanan rehabilitasi. Namun dalam prakteknya, dari berbagai literatur penelitian yang telah dilakukan, banyak penegak hukum menggunakan kedua pasal ini di dalam berkas pemeriksaan secara bersamaan. Pasal 112 ini juga menjadi pasal yang banyak digunakan bagi siapa saja, yaitu bagi pecandu, penyalahguna, ataupun pengedar, serta produsen narkotika.
Hal ini menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum dan membuat kedudukan antara pecandu dan pengguna narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, dengan produsen dan penggedar adalah sama. “Padahal tindakan dan akibat kejahatan yang dilakukannya sangat berbeda. Dalam Pasal 112, terdapat sanksi pidana yang cukup tinggi dan denda yang sangat mahal. Cukup aneh jika sanksi pidana yang tinggi serta denda yang sangat mahal dijatuhkan kepada pecandu atau penyalah guna,” kata Fransiska mendalilkan.
Pelemahan Wewenang MK
Pada kesempatan sama, Mahkamah juga menyidangkan Perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 mengenai uji materi UU 8/2011 tentang Perubahan atas UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Mantan Hakim Konstitusi yang didaulat sebagai ahli Pemohon, menginginkan adanya penguatan UU MK. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu pelemahan. Penguatan itu dalam rangka memungkinkan checks and balances. “Perubahan yang dilakukan seyogyanya sebenarnya pemberdayaan lembaga negara untuk melakukan fungsinya di dalam mekanisme check and balances,” kata Maru, sapaan akrab Maruarar Siahaan.
Lebih lanjut kata Maru, kewenangan lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 kemudian dilakukan pengaturan lebih lanjut sehingga menjadi lemah dalam norma undang-undang, merupakan masalah konstitusi tersendiri. “Bagaimana mungkin kewenangan yang dilimpahkan dari konstitusi dirumus-rumuskan kembali sehingga tidak cocok dengan spirit konstitusi itu sendiri,” dalil Maru.
Untuk diketahui, pada (5/8/2011) lalu Mahkamah menggelar sidang pendahuluan untuk dua perkara tersebut di atas. Muhamad Zainal Arifin, kuasa hukum Pemohon perkara Nomor 48/PUU-IX/2011 mendalilkan Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2) huruf a dan c UU MK menutup ruang dijatuhkannya putusan ultra petita (memberikan putusan diluar apa yang dimohonkan Pemohon). Ketentuan tersebut merugikan hak konstitusional Pemohon, karena berpengaruh pada kemungkinan besar MK tidak mengabulkan permohonan uji materi UU Narkotika yang diajukan Pemohon. (Nur Rosihin Ana/mh)