Jakarta, MK Online - Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mempunyai kewenangan konstitusional untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk norma sebagai norma baru yang diputus bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Hal ini disampaikan oleh Anggota DPR dari Fraksi PPP Ahmad Dimyati Natakusumah pada sidang terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sidang mendengar jawaban Pemerintah dan DPR tersebut digelar oleh MK pada Jumat (15/9), di Ruang Pleno MK. Hadir dalam sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR tersebut, Pemohon perkara No. 49/PUU-IX/2011, Saldi Isra dan Zainul Daulay. Sementara, Pemohon perkara No. 48/PUU-IX/2011, yakni Fauzan, hanya diwakili oleh kuasa hukumnya, M. Zainal Arifin.
“Pembentukan undang-undang fungsi legislasi secara konstitusional, adalah merupakan kewenangan DPR bersama dengan pemerintah, jika MK dalam putusannya membuat norma baru, maka MK telah melebihi kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi,” jelas Dimyati di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Sementara itu, menanggapi dalil Pemohon No. 49/PUU-IX/2011 tentang Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK dalam satu kali pemilihan, Dimyati menjelaskan hal itu dilakukan demi efisiensi dan efektivitas. Tak hanya itu, menurut Dimyati, pemilihan dalam satu rapat tersebut dinilai tidak akan memengaruhi independensi dan kredibilitas para hakim konstitusi. “Ketua dan Wakil Ketua MK menjalankan tugasnya tidak terpengaruh oleh tingkat persentasi dukungan hakim pada saat pemilihan. Demikian juga hakim konstitusi tidak boleh dipengaruhi oleh ketua dan atau wakil ketua dalam pengambilan keputusan hakim konstitusi dapat memberikan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion dan atau membuat alasan yang berbeda. Hal tersebut merupakan suatu fakta bahwa persentasi dukungan hakim pada saat pemilihan ketua dan wakil ketua tidak berkolerasi dan tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas hakim konstitusi,” paparnya.
Kemudian, mengenai batasan usia 47 tahun bagi hakim konstitusi seperti yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h UU No. 8/2011, Dimyati menyebut hal tersebut sebagai kebijakan pembuat undang-undang (legal policy). Menurut Dimyati, batasan usia minimum dikaitkan dengan tingkat kematangan seseorang untuk dapat dikatakan sebagai negarawan. “Diakui bahwa tidak ada angka usia yang pasti untuk menentukan usia kematangan negarawan. Usia 47 merupakan pilihan pembentuk undang-undang, legal policy dengan dasar pemikiran bahwa pada usia 47 itulah dianggap seseorang telah memiliki kematangan sebagai negarawan,” ujarnya.
Akan tetapi, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Saldi Isra sebagai Pemohon mengungkapkan batas usia 47 tahun yang ditetapkan oleh DPR sebagai pembentuk undang-undang tidak memiliki argumentasi yang kuat dan tepat. “Jadi, kami sebetulnya tidak melihat basis argumentasi yang kemudian bisa melakukan reformasi pengisian hakim agung. Jadi, ini angka yang menurut saya ini teka-teka buah manggis saja. Pilihan 47, jangan-jangan ada memang orang yang sedang diincar oleh DPR dan Pemerintah itu tidak masuk ke Mahkamah Konstitusi misalnya, kita tidak tahu itu. Tapi menurut kami, ini pilihan angka 47 mengatakan basis bahwa seorang negarawan harus dijelaskan,” katanya.
Sedangkan, Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wahiduddin Adam menganggap semua dalil yang menjadi argumentasi Pemohon bukanlah masalah konstitusionalitas norma. “Maka, menurut Pemerintah, tidak ada hubungannya dengan masalah Konstitusionalitas dengan berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Para Pemohon,” ucapnya.
Sementara itu, menanggapi dalil yang diungkapkan Pemohon No. 48/PUU-IX/2011, DPR yang diwakili oleh Martin Hutabarat mengungkapkan permohonann Pemohon bukanlah kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. “Pemohon, jelas Martin, menghendaki agar frase ‘memiliki, menyimpan, dan menguasai’ dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika dimaknai ‘memiliki, menyimpan, menguasai dengan tujuan untuk diedarkan atau digunakan orang lain’. Hal ini menurut DPR, bukan menguji undang-undang melainkan merupakan usulan perubahan norma Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika tersebut. Dengan demikian, hal tersebut, tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi, tapi merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah,” lanjutnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon No. 48/PUU-PUU-IX/2011 memohonkan pengujian Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2) huruf a dan c serta Pasal 112 ayat (10 Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sementara Pemohon No. 49/PUU-IX/2011 mengajukan sejumlah pasal dalam UU No.8/2011 tersebut untuk diuji materiil terhadap UUD 1945, yakni Pasal 4 ayat (4) huruf f, g, h; Pasal 10; Pasal 15, Pasal 15 ayat (2) huruf d; Pasal 26; Pasal 27A ayat (20 huruf c, d, dan e;Pasal 50A; Pasal 57ayat (2) huruf a; Pasal 59 ayat (2); serta Pasal 87. Pasal-pasal a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3); dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. (Lulu Anjarsari/mh)