MAKASSAR FAJAR -- Ada dua hal yang tidak bisa dilakukan oleh anjing yang sedang menggigit tulang gurih, yakni tidak bisa menyalak atau menggongong dan tidak bisa lagi menggigit. Oleh karena itu dalam pemberantasan korupsi, aparat penegak hukum, KPK, polisi, jaksa dan hakim tidak boleh menjadi penggigit-penggigit tulang yang gurih. Upaya penegakan hukum di negeri ini sangat tergantung pada integritas aparat yang jujur, bijak, adil, dan berani.
Hal ini dipaparkan mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), HM Laica Marzuki saat membawakan kuliah umum yang berjudul Moralitas Penegakan Hukum Berbasis Keadilan dan Bersendi Kearifan lokal, di hadapan mahasiswa baru pasca sarjana Fakultas Hukum Unhas di ruang senat gedung Rektorat Unhas, Senin, 12 September.
Mantan hakim Konstitusi ini mengaku prihatin melihat penegakan hukum saat ini. "Sempat saya merenung bahwa maraknya korupsi di negeri ini tatkala dalam masyarakat muncul persepsi bahwa aparat penegak hukum mudah disuap, dibayar dan dibeli," kata Laica.
Sebagai bentuk kekecewaannya terhadap penegakan hukum di Indoensia saat ini, Laica mengibaratkan dalam sebuah lomba memeras selembar handuk yang kering, dimana peserta dari berbagai negara sidah menyerah karena tidak dapat mengeluarkan air dari handuk yang duiperas, tiba-tiba ujar dua peserta terakhir berhasil memeras handuk tersebut, ternyata peserta itu adalah jaksa dari Indonesia.
"Ada juga ceritera yang mengatakan bahwa di Indoensia, dari tiga orang polisi, dua di antaranya masih jujur, yakni polisi tidur dan patung polisi, sementara satu orang lainnya merupakan polisi sungguhan," ujarnya yang disambut tawa ratusan peserta.
Itulah kata dia gambaran persepsi masyarakat tentang penegakan hukum di Indonesia. Sebenarnya kata Guru Besar Hukum Tata Negara Unhas ini, pada beberapa abad lalu, komunitas kerajaan bugis sangat memuliakan hukum, para pemangku adat katanya berkewajiban menegakan hukum.
Salah satu contoh lanjutnya, pada abad XVI, kerajaan Sidenreng, La Pagala Nene Allomo, pernah menjatuhkan pidana mati terhadap puteranya karena mengambil barang milik orang lain. "Pada abad itu pula, Kerajaan Soppeng, La Manussak juga mengadili dirinya sendiri lantaran melakukan pelanggaran," tutur Laica.