Jakarta, MKOnline – Belum sebulan Undang-Undang No. 8/2011 tentang Perubahan atas UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan, sejumlah pakar hukum tata negara mengajukan uji materi terhadap beberapa pasal di dalam UU tentang Perubahan UU MK tersebut, Jumat (5/8). Salah satu pakar hukum sekaligus dosen tata negara yang mengajukan permohonan tersebut, yaitu Saldi Isra dan Yuliandri.
Selain dua nama yang disebutkan di atas, terdapat dua Prinsipal Pemohon yang hadir dalam sidang perdana uji materi UU No. 8 Tahun 2004 tentang MK. Keduanya, yaitu Fatmawati dan Feri Amsari. Namun, selain keempat nama yang sudah disebutkan, Saldi mengatakan akan ada beberapa orang lagi yang akan menyusul sebagai Pemohon Prinsipal.
”Majelis Hakim Yang Mulia, berdasarkan respons teman-teman, masih ada beberapa nama yang akan menjadi Pemohon Prinsipal di luar yang sudah kami sampaikan kepada Mahkamah Konstitusi. Dan dibandingkan permohonan yang pertama, ada pertambahan juga yang sudah kami buat di sini. Tapi, semua yang mau ikut di sini nanti akan bisa dilihat secara komplet di perbaikan berikutnya,” ujar Saldi menjelaskan.
Pemohon juga didampingi para kuasa hukumnya, yaitu Taufik Basari, Wahyudi Djafar, Donal Fariz, Jamil, dan Veri Junaidi. Namun, Pemohon mengaku belum menandatangani surat kuasa karena sedang dalam proses. Pemohon kemudian berjanji akan melengkapi persyaratan itu di dalam perbaikan permohonan nanti.
Ketidaklengkapan syarat permohonan Pemohon perkara yang teregistasi dengan nomor 49/PUU-IX/2011 ditanggapi oleh Ketua Panel Hakim, M. Akil Mochtar. Akil menyebutkan bahwa Pemohon belum melampiri UU MK yang hendak diuji dan UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga belum memenuhi syarat permohonan karena surat kuasa yang menjadi dasar permohonan juga belum dilampirkan di dalam permohonan.
”Secara prosedural sebenarnya belum bisa diregistrasi perkaranya, tetapi sudah dilakukan registrasi hanya dengan permohonan saja. Oleh karena itu, dalam sidang yang pertama ini kita harapkan prosedur administrasi itu bisa dipenuhi terlebih dahulu. Jangan nanti di luar orang bilang mentang-mentang MK yang diuji, MK yang mengadili, semua ketentuan itu kita bisa terobos, semua ketentuan itu kita abaikan,” ingat Akil.
Setelah diingatkan oleh Akil, Pemohon yang diwakili Saldi melengkapi lampiran dengan memberikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK, UUD, dan surat kuasa.
Ultra Petita Dibutuhkan
Saldi yang mendapat kesempatan menyampaikan pokok permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 4(f),(g) dan (h), Pasal 10, Pasal 15 ayat (2) huruf b, c ,d, e, h, Pasal 45A, Pasal 50A, Pasal 57 ayat (1), Pasal 57 ayat (2a), Pasal 59 ayat (2), Pasal 15 ayat (2) huruf h, dan Pasal 45A juncto Pasal 57, dan Pasal 87 bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap UU No. 8 Tahun 2011 hasil revisi UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang mengatakan sebagian isi UU MK yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, Saldi mengatakan hal itu merupakan klaim sepihak dari pembentuk undang-undang tersebut.
“Karena dalam penghematan kami, justru semangat yang ada dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, itu tidak ada yang bertentangan dengan perkembangan zaman yang ada pada hari ini. Misalnya, mengapa kami mengatakan bahwa ini klaim sepihak? Khusus untuk dalil ultra petita yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 itu sebetulnya kebutuhan hukum masyarakat yang menghendaki seperti itu,” papar Saldi soal latar belakang permohonannya.
Merusak Independensi
Selain itu, Para Pemohon yang diwakili Saldi, merasa revisi UU MK telah mencederai nilai-nilai konstitusionalisme. Pasalnya, sebagian hasil revisi yang termaktub dalam UU No. 8 Tahun 2011 berpotensi merusak MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yangindependen.
Pemohon, masih seperti yang diungkapkan Saldi, melihat bahwa sebagian pasal-pasal yang diajukan dalam permohonan berpotensi melemahkan MK. ”Ini bukti ketidakpahaman pembentuk undang-undang terhadap kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan kita,” tegasnya.
Paling memprihatinkan, menurut Pemohon, Pasal 15 ayat (2) huruf h yang mengatakan bahwa seseorang bisa menjadi hakim konstitusi dangan syarat punya pengalaman 15 tahun di bidang hukum dan/atau bekas pejabat negara. Pemohon menganggap pasal tersebut tidak dapat ditolerir karena dapat melemahkan MK dengan pengalaman di bidang hukum yang belum cukup untuk bisa menjadi hakim konstitusi.
Terakhir, Saldi menyampaikan 10 petitum permohonan yang salah satu diantaranya adalah meminta Mahkamah menyatakan Pasal 4 ayat (4) huruf f, huruf g, dan ayat (4) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, oleh karenanya, pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Yusti Nurul Agustin/mh)