Jakarta, MK Online - Undang-Undang No. 8/2011 tentang Perubahan atas UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menutup ruang dijatuhkannya putusan ultra petita (memberikan putusan diluar apa yang dimohonkan pemohon). Akibatnya, MK akan kesulitan, atau bahkan tidak dapat lagi, memberikan putusan yang bertujuan untuk menegakkan keadilan substantif. “Pembatasan tersebut bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka,” tegas Muhamad Zainal Arifin, kuasa hukum Pemohon Nomor 48/PUU-IX/2011, Fauzan.
Hal itu diungkapkan oleh Zainal dalam sidang pendahuluan, Jum’at (5/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Panel Hakim yang menyidangkan perkara ini terdiri dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Hamdan Zoelva, dan Harjono.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji dua undang-undang sekaligus. Selain menguji UU MK, Pemohon juga menguji Undang-Undang No. 35/2009 tentang Narkotika. Untuk UU MK, Pemohon menguji Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2) huruf a dan c. Sedangkan terhadap UU Narkotika Pemohon menguji Pasal 112 ayat (1) dan Pasal 127 ayat (1) huruf a.
Zainal menuturkan, setidaknya ada tujuh alasan pengujian atas Perubahan UU MK. Salah satunya adalah substansi pasal yang tidak didukung oleh naskah akademik yang baik. “Secara sekonyong-konyong substansi pasal langsung dimasukkan dalam draft,” katanya.
Selain itu, menurutnya, ketentuan yang membatasi atau melarang MK untuk memutuskan ultra petita telah bertentangan dengan yurisprudensi MK selama ini. Setidaknya, kata dia, ada lima putusan MK yang mengandung ultra petita. “Juga bertentangan dengan sejarah judicial review di dunia,” paparnya. “Judicial review di dunia malah didasari oleh putusan ultra petita.”
Bahkan, ia menegaskan, pembatasan tersebut juga bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang independen dan merdeka. “Kemerdekaan tersebut telah direnggut dan direduksi oleh Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2) huruf a dan c,” ujarnya. Ia pun berpendapat, jikalau memang ingin ada pembatasan maka seharusnya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, bukan dalam bentuk undang-undang. Hal ini, juga berdampak pada putusan MK yang menyatakan konstitusional dan inkonstitusional bersyarat sebuah rumusan dalam undang-undang.
Pada intinya, Pemohon berpandangan, ‘pelarangan’ terhadap MK untuk mengeluarkan putusan konstitusional ataupun inkonstitusional bersyarat telah atau berpotensi mengakibatkan kerugian hak konstitusionalnya. Karena, dengan ketentuan itu maka kemungkinan besar permohonannya yang lain, yakni uji materi atas UU Narkotika, tidak dapat dikabulkan oleh MK. Karena, dalam salah satu petitum permohonannya, Pemohon meminta MK menyatakan pasal yang diuji tersebut inkonstitusional bersyarat.
Berkaitan dengan uji UU Narkotika, Pemohon berpendapat, telah terjadi ketidakkonsistenan hukuman bagi pencandu atau pengguna narkotika. Karena, menurut Pemohon, ketentuan dalam UU Narkotika disatu sisi menjamin rehabilitasi, namun di sisi lain mengatur pemidanaan. “Pasal pemidanaan ini kami anggap bertentangan dengan konstitusi,” ungkap Zainal.
Dia menyatakan ketentuan dalam UU Narkotika setidaknya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1) dan (2), serta Pasal 28H ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. “Tidak sejalan dengan asas negara hukum dan asas kepastian hukum,” imbuhnya.
Untuk diketahui, Pemohon Prinsipal, Zainal, saat ini sedang dalam proses persidangan karena didakwa sebagai pemakai narkotika. “Klien kami berhak menjalani rehabilitasi, bukan pemidanaan,” jelasnya. Oleh karena itu, Pemohon pun meminta agar MK menyatakan pasal yang diuji tersebut inkonstitusional kecuali dimaknai sebagai dihukum rehabilitasi dengan persyaratan hukuman ditujukan pada pecandu atau pengguna narkotika.
Setelah mendengarkan penjelasan Pemohon, Panel Hakim pun memberikan beberapa saran dan nasihat. Menurut Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, pada intinya permohonan Pemohon adalah menguji UU Narkotika. Sedangkan keterkaitan dengan UU MK hanyalah implikasi dari petitum pengujian UU Narkotika saja. Jadi, ia pun menyarankan Pemohon agar fokus dan lebih mempertajam uraian permohonan Pemohon terkait uji UU Narkotika. Ketua Panel Hakim M. Akil Mochtar bahkan berpendapat, permohonan Pemohon belum memenuhi syarat. “Karena tidak ada uraian kerugian konstitusional,” tuturnya. Ia lalu menganjurkan Pemohon untuk menguji UU Narkotika saja. (Dodi/mh)