Jakarta, MKOnline - Sidang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Penajam Paser Utara (Pemohon) dengan Menteri Kehutanan (Termohon) kembali digelar, Selasa (10/5) di MK. Sidang perkara dengan registrasi nomor 2/SKLN-IX/2011 ini beragendakan mendengarkan jawaban Termohon, keterangan saksi Pemohon, dan ahli dari Pemohon.
Sidang kali ini dihadiri oleh Kuasa Hukum Pemohon, Andi Muhammad Asrun dan Merlina. Pemohon dalam persidangan kali ini menghadirkan sembilan saksi fakta dan dua orang ahli. Untuk menguatkan dalilnya, Pemohon juga menyampaikan satu keterangan tertulis dari ahli lainnya. Kesembilan saksi Pemohon, yaitu Ibrahim, Sugiono, Risman, Siswoyo, Syahril, Badi, Ahmad Sanusi, Haryanto, dan Kuncoro.
Sedangkan dari Pemerintah atau Termohon dihadiri oleh Gunarto Agung Prasetyo (Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Teknik Kementerian Kehutanan), Budirianto, Abimanyu, Rosyid Jonunu, Mualimin (Kemenkumham), Erma Wahyuni (Kemendagri).
Sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD setelah mengambil sumpah para saksi dilanjutkan dengan jawaban Pemerintah yang ditandatangani oleh Menteri Kehutanan, Dzulkifli Hasan. Dalam jawaban Pemerintah itu dinyatakan bahwa permohonan Pemohon, objectum litis Pemohon 1 dan Pemohon 2 dianggap oleh pemerintah sudah kehilangan pijakannya. Pemerintah juga menganggap permohonan membingungkan, mengada-ada, dan didasarkan pada asumsi-asumsi semata.
Pihak Pemerintah juga beranggapan jika permohonan Pemohon dikabulkan oleh MK dikhawatirkan dapat menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum. Pasalnya, Pemerintah menganggap permohonan Pemohon bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Selain itu, Pemerintah juga menganggap permohonan Pemohon bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Lebih lanjut, Pemerintah menganggap pernyataan Pemohon 1 dan Pemohon 2 yang menyatakan dengan hilangnya fungsi hutan dalam wilayah yang dimaksud akan mengakibatkan hilang juga kewenangan Kemenhut adalah tidak benar. Pemerintah juga menyayangkan Pemohon 1 dan Pemohon 2 sebagai instansi penyelenggara Pemerintah di daerah tidak memahami UU Kehutanan sehingga tidak mampu membedakan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan sampai akhirnya muncul anggapan bahwa ketika tidak adanya tanaman hutan mengakibatkan hilangnya kewenangan Kemenhut.
Saksi Pemohon
Saksi Pemohon, Sugiono dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Penajam Paser Utara menyampaikan bahwa pihaknya sering didatangi masyarakat transmigrasi untuk menjelaskan tentang Tahura (Taman Hutan Raya). Masyarakat transmigrasi yang tanahnya berada di wilayah Tahura selama ini menganggap Tahura sebagai Taman Hutan Rakyat sehingga saat penataan batas masyarakat membolehkan tapal batas di Tahura tersebut.
Namun, setelah disosialisasi mengenai pengertian Tahura yang sebenarnya dan dijelaskan bahwa di dalam wilayah Tahura tidak boleh ada kegiatan di luar kegiatan kehutanan masyarakat jadi merasa sertifikat tanah mereka tidak berguna. “Tanam-menanam boleh, tapi tanam-menanam di luar kehutanan tidak boleh. Sehingga sertifikat yang dimiliki masyarakat tidak berguna karena tidak bisa digunakan untuk bercocok tanam di luar komiditas kehutanan seperti sawit. Jadinya mereka menanam secara illegal karena menurut peraturan Kemenhut tidak boleh menanam sesuai bidang kehutanan,” jelas Sugiono.
Risman Abdul yang bekerja di Kecamatan Sepaku mengatakan sebelum penetapan kawasan Tahura, kawasan transmigrasi sudah ditetapkan pada tahun 1975. Di kawasan transmigrasi tersebut terdapat 4.000 Kepala Keluarga dari 8 desa. Saat ini, masyarakat yang berada di wilayah transmigrasi harus meminta izin terlebih dulu ke Kemenhut bila ingin melakukan kegiatan perkebunan. Padahal, masyarakat transmigrasi tersebut didatangkan ke Sepaku dengan dibarengi pemberian sertifikat tanah.
Saksi Pemohon lainnya, Siswoyon, Kades Suka Mulyo. Siswoyon mengatakan desa yang dipimpinnya sebagian besar masuk wilayah Tahura. Sehingga, sertifikat tanah yang dimiliki warga desa tersebut tidak “laku”. Hal itu terbukti dengan tidak diterimanya sertifikat tanah tersebut sebagai anggunan ke bank untuk mendapatkan pinjaman usaha.
Siswoyon juga menyampaikan kerugian yang diterima warganya terkait wilayah Tahura. Ia menyampaikan bahwa minggu lalu, warganya baru keluar dari penjara setelah ditahan selama lima bulan. Penahanan tersebut dikarenakan warga tersebut mengambil kayu 10 potong dari tanah sertifikat milik mereka sendiri karena berada di wilayah Tahura. Siwoyon juga membawa tiga lembar sertifikat masyarakat untuk menjadi bahan pertimbangan hakim konstitusi.
Ahli
Tommy Hendra Purwaka dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya yang menjadi ahli pada persidangan tersebut menjelaskan bahwa perubahan dan pemantapan fungsi serta perluasan Bukit Soeharto yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara ini ternyata tidak memberikan manfaat yang sebesar-besarnya secara langsung kepada msyarakat sebagaimana diamanatkan oleh UUD. “Seharusnya setiap perubahan peraturan perundangan-undangan objek yang diatur itu harus jadi lebih baik atau lebih bermanfaat untuk masyarakat. Penetapan lahan transmigrasi dulunya lebih bermanfaat secara langsung kepada masyarakat,” ujar Tommy. Meski begitu, Tommy menganggap Pemerintah memang berwenang untuk menetapkan wilayah tersebut menjadi Tahura. (Yusti Nurul Agustin/mh)