Jakarta, MKOnline – Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dibuat agar menjamin adanya kepastian hukum. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol Tahun 2011 mewajibkan parpol yang telah berbadan hukum untuk melakukan penyesuaian. Salah satu bentuk penyesuaiannya adalah seluruh parpol yang telah berbadan hukum, yang saat ini berjumlah 74, melakukan verifikasi ulang pada Kementerian Hukum dan HAM. ”Jika tidak terdapat ketentuan tersebut, maka kehendak mewujudkan multi-partai sederhana di Indonesia sebagaimana diinginkan oleh pembentuk Undang-Undang, yang juga telah sejalan dengan beberapa putusan MK yang terkait dengan electoral threshold maupun parlementary threshold, niscaya akan sulit dapat diwujudkan.”
Pendapat disampaikan oleh Made Suwandi saat didaulat oleh Pemerintah untuk menjadi Ahli dalam persidangan di MK mengenai uji materi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Senin (25/4/2011) bertempat di ruang Sidang Pleno gedung MK.
Permohonan perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 15/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh parpol-parpol gurem yang tidak punya wakil di DPR. Mereka di antaranya: 1. PPD; 2. PBB; 3. PDS; 4. PKPI; 5. PDP; 6. PPPI ; 7. Partai Patriot; 8. PNBKI ; 9. PPI; 10. PMB; 11. Partai Pelopor 12. PKDI; 13. Partai Indonesia Baru; 14. PPDI; 15. PKPB; 17. PSI; dan 18. Partai Merdeka. Sedangkan perkara Nomor 18/PUU-IX/2011 dimohonkan oleh Choirul Anam dan Tohadi yang berasal dari PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama).
Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) yang mewajibkan partai politik yang telah berbadan hukum untuk ikut verifikasi ulang, telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian hak-hak konstitusional para Pemohon. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22A, Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Persidangan mengagendakan mendengar keterangan Ahli dari Pemerintah dan Ahli dari Pemohon. Pemerintah menghadirkan seorang Ahli, Made Suwandi, sedangkan Pemohon (perkara Nomor 18/PUU-IX/2011) menghadirkan 3 orang Ahli, yaitu Yusril Ihza Mahendra, Fajrul Falaakh dan Robertus.
Made Suwandi dalam paparannya menyatakan, UU Parpol Tahun 2011 menegaskan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. Selain itu, parpol harus mempunyai kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten kota pada provinsi yang bersangkutan, dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten kota yang bersangkutan. “Dengan demikian, setiap partai politik harus memenuhi kepengurusan di 33 provinsi, 333 kabupaten/kota, dan 3311 kecamatan,” papar Made Suwandi.
Selain itu, menurut Pemerintah, ketentuan tersebut tidak dalam rangka mengurangi atau menghalang-halangi keinginan setiap orang termasuk para Pemohon untuk membentuk atau melanjutkan keberadaan parpol yang telah berbadan hukum tersebut sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Ketentuan tersebut juga merupakan perwujudan yang sama dan setara, e qual treatment, baik bagi parpol lama yang telah berbadan hukum maupun parpol baru yang belum berbadan hukum. Oleh karena itu, menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 telah sejalan dengan amanat konstitusi dan karenanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Karenanya pula, tidak merugikan hak dan atau kewenangan konstitusional para pemohon. Juga, menurut pemerintah, ketentuan tersebut telah jelas dan tidak bersifat multitafsir, karenanya tidak perlu dinyatakan sebagai ketentuan yang bersifat conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat.
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut, Pemerintah memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. “Atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima,” pinta Ahli dari Pemerintah, Made Suwandi.
Ketidakjelasan Arti dan Filosofi
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra yang didaulat sebagai Ahli Pemohon, dalam paparannya menyatakan, ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol yang tengah diujikan, mengandung ketidakjelasan arti dan filosofi dalam perumusannya. Yusril mempertanyakan maksud kata-kata “tetap diakui keberadaannya” dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol. “Apakah maksud keberadaannya? Keberadaan de jure sebagai sebuah rechtpersoon atau keberadaan de facto?” tanya Yusril.
Kemudian, ketidakjelasan itu juga nampak dalam ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) b yang menyatakan, “Dalam hal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi syarat verifikasi, keberadaan Partai Politik tersebut tetap diakui sampai dilantiknya anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilihan Umum tahun 2014.” Undang-undang ini, lanjutnya, secara implisit membubarkan partai politik di luar apa yang diatur oleh konstitusi dan melampaui kewenangan MK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk membubarkan sebuah partai politik.
“Saya kira, tidak ada kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar kepada pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk membubarkan, mengeliminir keberadaan partai politik melalui undang-undang yang diberikan kewenangan kepada mereka untuk membuatnya,” tandas Yusril.
Sedangkan Fajrul Falaakh, dalam paparannya menyatakan, UU Parpol 2011 menerapkan standar ganda yang tidak memberikan kepastian hukum mengenai pengakuan terhadap eksistensi para Pemohon. Dengan kata lain, kepada Pemohon dikenakan syarat verifikasi yang berbeda dari UU Parpol 2008 dan UU Pemilu 2008 yang pada dasarnya sudah meloloskan para Pemohon sebagai peserta Pemilu 2009. “Karena penerapan standar ganda inilah, maka lalu saya setuju dengan pendapat para Pemohon yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang diujikan bersifat diskriminatif,” paparnya.
Menurut Fajrul, verifikasi oleh pemerintah yang mengakibatkan Parpol kehilangan hak menjadi peserta Pemilu berikutnya, bukan hanya membohongi pengakuan akan eksistensi parpol yang bersangkutan, melainkan juga mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui pemilu dengan parpol sebagai pesertanya. “Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 22E Ayat (5), di dalam demokratis rechtstaat seharusnya eksistensi parpol diputuskan sendiri oleh rakyat, termasuk mengenai jumlah parpol yang dipandang pantas mewakili kemajemukan masyarakat itu,” tandas Ahli dari Pemohon, Fajrul Falaakh. (Nur Rosihin Ana/mh)