Jakarta, MK Online - Banyak cara untuk mengenang seorang tokoh. Salah satunya, dengan mengadakan seminar atau diskusi. Dan, inilah yang dilakukan oleh Panitia Lintas Agama Indonesia pada Senin (10/1) di Ballroom Flores, Hotel Borobudur, Jakarta. Seminar sehari yang digelar dalam rangka memperingati satu tahun wafatnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini mengangkat tema Melestarikan Spirit Gus Dur dalam Kebangsaan dan Multikulturalisme.
Ketua Panitia, M. Nur Kholis Setiawan, mengatakan, seminar ini bukan hanya untuk mengenang dan meneladani kiprah Gus Dur semasa hidup, melainkan juga untuk mengembangkan pola kerukunan dan keharmonisan bangsa di masa mendatang. “Kegiatan ini merupakan ikhtiar atau upaya untuk melanjutkan kiprah dan perjuangan almarhum Gus Dur dalam mewujudkan keharmonisan dan persatuan di tengah-tengah keragaman yang luar biasa dari bangsa Indonesia tercinta, baik dari sisi etnik, budaya maupun agama,” katanya dalam sambutan.
Pada kesempatan itu, hadir beberapa tokoh nasional dan pemuka-pemuka dari berbagai agama. Diantaranya: Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, Master Chin Kung, Franz Magnis Suseno, dan A.M Fatwa.
Dalam sambutannya, Mahfud menggambarkan bagaimana sosok dan pemikiran Gus Dur tentang pluralisme, multikulturalisme dan konstitusionalisme. Menurut Mahfud, dalam konteks ini, Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang patut dicontoh dan diteladani. Di mana, Gus Dur menunjukkannya tidak hanya melalui gagasan-gagasan abstrak, melainkan dalam praktik kesehariannya. Penilaian ini, menurutnya, berdasarkan pada pegalamannya saat menjadi Menteri Pertahanan di bawah kepemimpinan Gus Dur, serta sebagai kerabat dekat saat menjadi pengurus partai.
Manurut Mahfud, orang Islam tidak boleh sewenang-wenang meskipun mayoritas. Karena, ia melanjutkan, negara Indonesia merupakan negara kebangsaan, yakni bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. “Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan pada satu agama resmi. Dan, bukan juga negara sekuler yang hampa dari urusan-urusan agama,” tegasnya. Indonesia adalah negara yang mengakui dan melindungi agama-agama serta keyakinan yang ada dalam masyarakatnya.
Idealitas tersebut, sambung Mahfud, selaras dengan ajaran Islam itu sendiri. Yang mana, dalam ajaran Islam mengenal kalimatun sawa. “Visi yang sama untuk hidup bermasyarakat,” katanya. Menurutnya, seluruh agama, pada dasarnya, mengajarkan dan memerintahkan untuk berbuat baik dan menjauhi sikap tercela. “(Sehingga) jangan menggali titik-titik perbedaan,” tukasnya.
Ia manambahkan, jika sikap kita masih sama dengan perilaku ‘menyimpang’ masa lalu –yang memperlakukan seseorang secara diskriminatif dan menindas minoritas- maka kita telah gagal dalam membangun dan mengisi reformasi. “Reformasi untuk menciptakan realitas baru. Tidak terbelenggu oleh realitas-realitas lama,” ujarnya dengan menyitir salah satu ungkapan Gus Dur.
Pada kesempatan yang sama juga dilakukan launching buku “Jejak Langkah Guru Bangsa”. Selain itu, hadir pula memberikan sambutan, Istri mendiang Gus Dur, Shinta Nuriah Wahid. (Dodi/mh)