Jakarta, MKOnline - Disela-sela sidang Perselisihan Hasil Pemilukada, Pada hari Kamis, 7 Oktober 2010 Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Moh. Mahfud MD., Menghadiri dan menjadi Narasumbar pada Dies Natalies ke 56 Universitas HKBP Nommensen Medan yang di hadiri oleh 1300 mahasiswa, Rektor, civitas akademika Universitas HKBP Nommensen serta para Pejabat setempat.
Dalam orasi ilmiahnya yang berjudul ”PLURALISME DITINJAU DARI ASPEK KONSTITUSI” beliau mengatakan : Pluralisme lazim diberi pengertian sebagai suatu kerangka interaksi di mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Atau dengan kalimat lain, pluralisme merupakan sikap menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai keniscayaan dalam realitas.
Dalam rumusan Nurcholis Madjid, pluralisme disebut sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, a genuine engagement of diversities within the bounds of civility. Lebih jauh lagi, apabila dipahami secara benar, pluralisme sesungguhnya menjanjikan sebuah ruang nyaman bagi penghormatan terhadap perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar sifat kemanusiaan seorang manusia. Sehingga pluralisme mestinya tak diposisikan sebagai ancaman melainkan sebagai kekuatan dalam aktivitas berbangsa menuju cita-cita dan tujuan negara Indonesia.
UUD 1945 sebagai konstitusi negara, tidak saja merupakan konstitusi politik, melainkan juga konstitusi sosial dan konstitusi ekonomi. Artinya, UUD 1945 dan seluruh norma-norma yang didesain para founding people dan para pengubah UUD, tidak saja mengatur kehidupan politik melainkan juga kehidupan ekonomi dan sosial. Oleh karenanya, UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal itu, semestinya menjadi acuan negara (state) dan masyarakat. Bagi negara, konstitusi adalah kontrak sosial antara penguasa dengan rakyat yang telah memberikan mandatnya untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi masyarakat, konstitusi menjadi acuan dalam bertindak dan bertingkah laku dalam setiap aktivitas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Konstitusi dalam hal ini adalah, pedoman bersama bagi seluruh komponen bangsa dalam menjalin hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstitusi mengikat sebagai pedoman bersama karena dibuat berdasarkan kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa.
Secara fakta historis, pluralisme merupakan titik pijak bagi pendirian negara bangsa Indonesia yang kemudian secara tegas diadopsi oleh para founding people’ pada saat merumuskan UUD 1945. Terkait dengan itu maka UUD 1945 bukan lain merupakan tonggak konvergensi atau titik temu kebhinekaan bangsa ini.
Ditinjau dari aspek Konstitusi, anutan pluralisme negara ini mendapatkan tempat istimewa dan ditegaskan secara lebih spesifik melalui frasa-frasa seperti negara ”mengakui”, ”memelihara”, ”menghormati”, ”menjamin”, dan memberikan ”perlindungan” terhadap keberagaman bangsa Indonesia. Hal ini sekurang-kurangnya dapat ditemukan dengan jelas pada Pasal 18, Pasal 28, dan Pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu, ditinjau dari aspek konstitusi maka kita ini harus memahami pluralitas yang ada dengan memosisikan perbedaan adalah sebagai fitrah. Kita ini hidup bernegara dalam kebhinekaan tetapi juga dalam kesatuan sehingga pluralisme diperlukan untuk menciptakan hidup yang nyaman dengan orang lain dalam suasana perbedaan.
Harus disadari bahwa pluralisme sebagaimana telah dianut oleh Konstitusi, menjanjikan ruang nyaman bagi penghormatan terhadap perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar sifat kemanusiaan seorang manusia. Untuk itu, sudah bukan waktunya lagi memosisikan pluralisme ini sebagai ancaman melainkan saatnya memosisikannya sebagai spirit dan kekuatan dalam aktivitas berbangsa menuju cita-cita dan tujuan negara Indonesia. (Edhoy)