Jakarta, MK Online - Permohonan uji materi UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara yang diajukan oleh Lily Chadidjah Wahid, adik kandung almarhum Gus Dur, dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Vonis putusan tersebut dibacakan oleh sembilan Hakim Konstitusi.
Pada sidang sebelumnya, cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari ini menyoal Pasal 23 UU a quo yang berbunyi "Menteri dilarang rangkap jabatan sebagai: a) pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, b) komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau c) pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah".
Dalam Penjelasan Umum pasal di atas, menurut Lily Wahid pada paragraf 8 sepanjang frasa "diharapkan" dan "dapat" yang lengkapnya tertulis "bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik" bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), 28D Ayat (1) dan (3) UUD 1945.
Namun demikian, terkait dengan kedudukan/jabatan Pemohon sebagai anggota/fungsionaris partai politik DPP-PKB, menurut Mahkamah, kepentingan hukum PKB bisa saja terkurangi atau terlanggar oleh ketentuan norma dalam UU 39/2008 yang dimohonkan pengujian. Akan tetapi, Pemohon tidak dapat mengatasnamakan PKB sebagai sebuah badan hukum publik yang menuntut hak-hak konstitusionalnya karena menduga hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah Undang-Undang.
“Alasannya, UU atau mekanisme internal sebuah badan hukum telah menentukan siapa yang berhak mewakili kepentingan hukum suatu badan hukum publik atau privat di hadapan sidang pengadilan atau di forum-forum publik lainnya. Dalam kaitan ini Pemohon tidak menunjukkan surat mandat atau dokumen apapun yang menunjukkan bahwa dirinya mewakili kepentingan hukum Partai Kebangkitan Bangsa,” terang Hakim Konstitusi Maria Farida.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 21 UUD 1945, maka Pemohon sebagai Anggota DPR maupun anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa di mana Pemohon bernaung di bawahnya menjadi bagian yang penting ketika pembuatan UU tersebut.
Jadi, MK tidak menemukan adanya tindakan diskriminasi terhadap diri Pemohon maupun fraksi Pemohon ketika UU tersebut dibentuk, sehingga tidak tepat ketika setelah menjadi UU justru dipersoalkan konstitusionalitasnya yang berarti mempersoalkan tindakannya sendiri di hadapan sidang MK.
“Jika seandainya dalam proses pembentukan UU a quo tirani mayoritas fraksi atas minoritas fraksi, hal demikian akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi MK. Dengan demikian, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena sebagai Anggota F-PKB yang bersangkutan tidak berhak mewakili PKB, sedangkan sebagai Anggota DPR, substansi uji materi yang diajukan bukanlah merupakan hak konstitusional Pemohon menurut UUD 1945,” tambah Maria.
Dalam pembacaan putusan ini, terdapat alasan berbeda dari Hakim Konstitusi Harjono dan Hamdan Zoelva. Keputusan-keputusan politik di DPR termasuk dalam pembentukan undang-undang yang ditentukan berdasarkan persetujuan mayoritas adalah wujud pelaksanaan prinsip demokrasi. Akan tetapi karena Indonesia adalah negara yang menganut prinsip supremasi konstitusi persetujuan mayoritas tidak dengan sendirinya diterima sebagai kebenaran konstitusional, karena harus memenuhi syarat dan mekanisme pengambilan keputusan yang ditentukan oleh konstitusi.
”Di sinilah prinsip demokrasi konstitusional dilaksanakan. Walaupun demikian, dalam kasus ini saya berpendapat Pemohon tidak memiliki legal standing, bukan karena Pemohon adalah anggota DPR akan tetapi karena tidak ada kerugian konstitusional Pemohon dalam permohonan,” tutur Hamdan. (RN Bayu Aji)