Peternak, Nelayan, Petani, dan Konsumen Ujikan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kamis, 29 Oktober 2009
| 09:28 WIB
Dari kiri ke kanan, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, Muhammad Alim, dan Achmad Sodiki memimpin sidang uji UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, Selasa (27/10), di ruang sidang panel MK. (Humas MK/Yogi Djatnika)
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Selasa (27/10/2009) pukul 11.00 WIB, di ruang sidang panel MK. Perkara Nomor 137/PUU-VII/2009 itu dimohonkan oleh 19 Pemohon, antara lain, Institute for Global Justice (IGJ), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Teguh Boediyana, Asroul Abidin, Achmad, Suryarahmat, Asnawi, I Made Suwecha, Robi Agustiar, A Warsito, Sukobagyo Poedjomartono, Purwanto Djoko Ismail, Elly Sumintarsih, dan Salamuddin. Para Pemohon menguji empat norma yaitu: pertama, Pasal 44 Ayat (3) berbunyi "Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)". Kedua, Pasal 59 ayat (2) sepanjang kata "atau zona dalam suatu negara": "Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan." Ketiga, Pasal 59 ayat (4) sepanjang kata "atau kaidah internasional": "Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional yang berbasis analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional." Keempat, Pasal 68 ayat (4) sepanjang kata "dapat": "Dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner. Empat norma di atas, menurut Pemohon, bertentangan dengan aline ke-4 Pembukaan, Pasal 28C Ayat 2, Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Prinsip utama permohonan Pemohon adalah menganggap pemerintah tidak bertanggungjawab atas kerugian akibat ketidakmampuannya mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya dan mengabaikan hak peternak atas ganti rugi akibat tindakan depopulasi. Sementara untuk pemberlakuan sistem zona, akan berpotensi menimbulkan kerugian bagi Pemohon karena tidak ada kepastian apakah hewan hidup dan produk hewan segar yang masuk ke Indonesia adalah hewan dan produk hewan dari zona yang sudah dinyatakan aman.
Sementara untuk pencantuman kata "dapat" menurut Pemohon mengebiri profesi veteriner dan otoritas veteriner, menurunkan derajat kewenangan profesional menjadi kewenangan politik, dan melimpahkan tanggung jawab profesi yang berbasis keahlian kepada tanggung jawab politik. "Ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan penularan penyakit pada hewan jangan dilimpahkan bebannya kepada kami. Karena itu, pasal-pasal bermasalah ini harus dinyatakan bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945," tutur Pemohon di persidangan.
Hakim Panel yang diketuai Muhammad Alim dan didampingi Maruarar Siahaan beserta Achmad Sodiki, meminta Pemohon memperbaiki permohonannya dengan lebih memperjelas kerugian konstitusionalnya. (Yazid)