Menyoal Kembali Bilangan Pembagi Pemilih UU Pemilu
Senin, 26 Oktober 2009
| 16:53 WIB
Bambang Widjojanto (duduk dua dari kanan) sedang dibantu staf persidangan MK sebelum memulai sidang uji UU Pemilu yang dimohonkan oleh Dedy Djamaluddin Malik (duduk, kanan), Selasa (20/10), di ruang sidang panel MK. (Humas MK/Wiwik BW)
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menguji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), Selasa (20/10/2009), yang dimohonkan oleh Drs. Dedy Djamaluddin Malik dalam Perkara Nomor 119/PUU-VII/2009 dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan.
Sidang Panel dipimpin oleh Muhammad Alim dan didampingi oleh Abdul Mukthie Fadjar dan M. Arsyad Sanusi. Sementara dari pihak Pemohon dihadiri Kuasa Hukumnya Bambang Widjojanto dan Iskandar Sonhaji bersama Pemohon Prinsipal sendiri.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon mengujikan Pasal 206 yang menyatakan "Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam BPP DPR yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak." Pemohon menganggap KPU telah mengalihkan hak atas perolehan kursi dari Pemohon kepada Partai Politik lain yang tidak memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) baru. Landasan KPU adalah Pasal 25 ayat (1) huruf b Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 yang menentukan Partai Politik peserta pemilu Anggota DPR tersebut memiliki sisa suara terbanyak di daerah pemilihan yang bersangkutan, bila dibandingkan dengan partai politik lainnya. Dalam persidangan, Pemohon mengemukakan kerugian konstitusionalnya. "Frase ‘sisa suara terbanyak’ adalah multitafsir dan membuat penafsiran berbeda-beda dalam penetapannya. "Kami mendapati tafsiran yang berbeda-beda dan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum sekaligus perlakuan yang tidak sama di depan hukum," ungkap Bambang. "Tafsirannya seharusnya adalah akumulasi sisa suara dapil-dapil yang diakumulasi di tingkat provinsi," lanjutnya.
Menurut Pemohon, tahap pertama yang dihitung adalah yang memenuhi BPP. Tahap kedua tidak menggunakan BPP tapi memenuhi 50%. Tahap ketiga dan selanjutnya, ditarik dulu semua sisa suara di provinsi, baru dirumuskan menjadi BPP baru. "Itu adalah logika kami," jelas Bambang. (Yazid)