Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan sidang uji materi Undang-Undang No. 10/2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD dan UU No. 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah, terkait diskrimasi hak terpidana terhadap hak dipilih dalam pemilu legislatif dan kepala daerah, Selasa (10/03), di ruang sidang pleno MK. Agenda persidangan ini adalah mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon.
Perkara No. 4/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Robertus, warga Pagar Alam, Sumatera Selatan, karena merasa frasa “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang terdapat pada Pasal 12 huruf g, Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 dan Pasal 58 huruf f UU 12/2008 bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon pernah dijatuhi pidana dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena Pemohon pernah terlibat kasus penganiayaan. Pemohon beralasan pasal tersebut melanggar hak konstitusionalnya untuk berpolitik dengan menjadi calon anggota legislatif.
Menanggapi permohonan tersebut, Pemerintah, melalui Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, Agung Mulyana, menjelaskan bahwa dalam pemilu DPR, DPD, dan DPRD, serta kepala daerah, diharapkan bisa menyaring pemimpin ataupun pejabat publik yang benar-benar kredibel dan layak dipilih. “Kriteria itu penting sebagai standar calon, sehingga menjadi pemimpin yang layak dipilih dan bersih. Pemerintah memiliki hak untuk itu, sehingga pemimpin dan pejabat publik tidak ada yang memiliki track record buruk dan melakukan pelanggaran pidana berat,” katanya.
Agung menambahkan, kalau Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang kuat. “Robertus sebagai pemohon dalam hal ini tidak dirugikan hak konstitusionalnya karena bukanlah terpidana dan dijatuhi hukuman penjara lima tahun atau lebih,” lanjutnya.
Sementara itu Ahli dari Pemohon, Mudzakkir, menyatakan bahwa pembatasan atas hak dipilih terkait tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih terhadap calon pejabat publik, anggota DPR, dan kepala daerah, tidak tepat dan tidak adil.
Pembukaan UUD 1945, papar Mudzakkir, menjamin persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Artinya, tidak ada jaminan bagi seseorang baik yang terpidana lima tahun lebih atau tidak, akan bisa memimpin atau menjadi pejabat publik. Berdasarkan permusyawaratan perwakilan tersebut, “biarkan rakyat yang memilih, siapa yang pantas menjadi wakilnya,” terangnya.
Menanggapi pertanyaan Majelis Hakim tentang calon pejabat publik yang dulunya bersih terus melakukan pidana dan disidik Komisi Pemberantarasan Korupsi (KPK) ketika telah jadi pemimpin dan bagaimana mengukur jaminan tersebut, Mudzakkir menjawab tidak dapat memastikannya. Banyak fakta bahwa mantan terpidana bisa sukses di kemudian hari. Ada pula kemungkinan mantan terpidana tetap saja tidak ada perubahan. “Sebagai contoh ada seseorang terpidana tindak kejahatan seperti hacker yang harus direkrut untuk dimaksimalkan kemampuannya untuk mencegah dan menangkap hacker yang lain dan meminimalisasi kejahatan IT (informasi teknologi red.),” lanjutnya.
Contoh lainnya, lanjut Mudzakkir, adalah pejabat publik dan pemimpin saat ini. Mantan terpidana tidaklah lebih jelek kedudukannya daripada orang yang melakukan tindak pidana tapi tidak dipenjara karena alasan pembuktian yang tidak kuat. “Banyak pejabat publik yang dapat dilihat di televisi yang seharusnya dihukum dan ditahan tapi justru dia yakin apa yang dilakukannya tidak salah dan percaya apa yang dilakukannya adalah hal yang benar,” tegasnya di akhir keterangan. (Rojil NBA)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW