Mahkamah Konstitusi (MK) gelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Pasal 245 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), yang dimohonkan Denny Yanuar Ali dan Umar S. Bakry, Ketua dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI), Selasa (17/02) pukul 15.00 WIB, di ruang sidang MK.
Dalam permohonannya Perkara Nomor 9/PUU-VII/2009 ini, dinyatakan bahwa ketentuan Pasal 245 UU a quo tidak memberi rasa keadilan dan kepastian hukum kepada para pegiat riset opini publik. Oleh kerena itu, menurut Pemohon, ketentuan Pasal 245 UU a quo bertentangan dengan prinsip UUD 1945 yang memberikan perlindungan konstitusi bagi warga negara.
Pemohon, yang didampingi Kuasa Hukum A. M. Asrun dan Bachtiar Sitanggang, juga memandang Pasal 245 ayat (3) yang menyatakan “Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara” dan ayat (4) yang menyatakan “Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara pemilu”, bertentangan dengan semangat kerja dan kode etik profesi survei.
Menurut Pemohon, pengumuman hasil penghitungan cepat (quick count) hanya akan dilakukan apabila sudah layak disampaikan kepada publik beberapa saat setelah selesainya kegiatan pemberian suara, sebagaimana di sejumlah negara demokrasi lainnya seperti pada Pemilihan Presiden Amerika. Sedangkan dalam hal metodologi survei, menurut Pemohon, terdapat hal-hal yang bersifat rahasia (confidential) antara lembaga survei dengan masyarakat pengguna jasa survei, sehingga tidak semua hal perlu disampaikan kepada publik.
Selain itu, dengan berkurangnya ruang gerak riset opini publik yang diakibatkan adanya ketentuan Pasal 245 UU a quo, dinilai telah membonsai kesempatan para politisi untuk mengetahui dukungan masyarakat. Begitu pula masyarakat yang ingin memilih calon pemimpinnya, tidak mendapat kesempatan mengenal lebih dekat pribadi calon pemimpin mereka. “Para politisi akan berjalan seperti di malam yang gelap gulita, karena tidak memahami betapa besar dukungan masyarakat bagi seseorang untuk maju dalam suatu pemilihan jabatan publik seperti Kepala Daerah,” ungkap Pemohon. (Sahlul Foe)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW