Pengadilan Niaga genap berusia sepuluh tahun. Lahir untuk mengatasi dampak krisis moneter 1998, Pengadilan Niaga harus menghadapi hal yang sama dalam usia satu dekade.
Bisa jadi, pekan ini para konseptor Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dihinggapi rasa syukur. Rumusan pasal 29, pasal 55 ayat (1), pasal 59 ayat (1), dan pasal 138 yang dulu mereka konsep lolos dari jarum kematian. Mahkamah Konstitusi menyatakan rumusan pada keempat pasal UU Kepailitan itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dibacakan pada sidang pleno pada Kamis (23/10), putusan Mahkamah Konstitusi menjawab pertanyaan yang selama ini dilayangkan sejumlah buruh melalui judicial review. Ini bukan upaya pertama mempersoalkan rumusan Undang-Undang Kepailitan, baik UU No. 37 Tahun 2004 maupun wet terdahulu UU No. 4 Tahun 1998. Upaya mengkritik UU ini dapat dipahami mengingat latar belakangnya sebagai instrumen mengatasi krisis moneter yang terjadi kala itu.
Kini, ketika krisis keuangan melanda belahan dunia, dan dikhawatirkan lambat laun berdampak pada Indonesia. Bila kekhawatiran itu terbukti, dapat dipastikan sejumlah perusahaan akan menghadapi persoalan lain. Kebangkrutan bukan sesuatu yang mustahil. Kalau perusahaan rontok, karyawan pun otomatis kena imbas. âYang paling rentan adalah pekerja sektor keuangan seperti perbankan, pasar modal, perusahaan broker dan valas,â ujar Saepul Tavip, Ketua Dewan Penasihat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia.
Pemenuhan hak buruh bila terjadi kepailitan hanya salah satu dari sederet problem hukum yang mungkin timbul saat krisis keuangan semakin memburuk. Problem lain bisa berkaitan dengan tugas kurator, petugas pajak, polisi, jaksa, atau hakim pengawas. Malah, manakala berurusan dengan pemberesan harta perusahaan pailit, sangat mungkin muncul akibat hukum piercing corporate veil terhadap tanggung jawab pribadi direksi, komisaris dan pemegang saham perseroan terbatas.
Bisa pula terjadi pergesekan wewenang antara polisi dan kurator, hukum pidana dan hukum kepailitan. Selain soal pemahaman polisi terhadap kepailitan, dapatkah polisi diikutsertakan dalam proses penelusuran dan pengambilan harta pailit? Bagaimana kalau ditemukan indikasi pencucian uang oleh manajemen perusahaan terpailit? Bagaimana pula peran hakim pengawas jika ada masalah dalam pengurusan harta pailit tersebut?
Menyadari kemungkinan demi kemungkinan itulah, Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) bekerjasama dengan In-ACCE, komite kerja untuk pengkajian praktik hukum kepailitan, mengundang para pemangku kepentingan untuk duduk bersama pada 29 Oktober mendatang. Dikemas dalam bentuk seminar nasional, AKPI berusaha mencari jawab atas berbagai persoalan kepailitan yang timbul selama sepuluh tahun terakhir, sejak Pengadilan Niaga terbentuk, hingga mengantisipasi dampak buruk krisis global saat ini. âKami ingin memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia mengingat kemungkinan dampak krisis ekonomi global,â ujar Junaidi, kurator yang juga Ketua Panitia Seminar AKPI.
Diakui Junaidi, Pemerintah pun sudah membuat langkah antisipatif dengan menerbitkan sejumlah peraturan. Misalnya Perppu No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Perppu No. 3/2008 yang mengatur lembaga penjaminan simpanan. Bahkan Pemerintah sudah membuat jaring pengaman sistem keuangan lewat Perppu No. 4 Tahun 2008. Meskipun demikian, Junaidi yakin acapkali dampak krisis keuangan sulit diramalkan. âimpactnya bisa besar sekali,â ujarnya.
Karena itulah, langkah mengundang para pemangku kepentingan diyakini menjadi langkah terbaik bukan saja untuk mengantisipasi tetapi juga membahas soal-soal yang selama ini belum terjawab dalam praktik pengadilan niaga. Kegiatan semacam ini sebenarnya sudah puluhan kali dilakukan. Sepanjang 1998 â 2004 saja, Pusat Pengkajian Hukum (PPH) bekerjasama dengan lembaga peradilan sudah menggelar 20 kali workshop yang membahas kepailitan. PPH dan AKPI malah pernah secara khusus membahas revitalisasi wewenang kurator/pengurus, hakim pengawas, dan hakim niaga.
Ditambahkan Junaidi, pertemuan para pemangku kepentingan sekaligus untuk memperingati 10 tahun Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga untuk pertama kalinya di PN Jakarta Pusat berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 1998, yang kemudian disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998. Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999 menambah pengadilan niaga di Makassar, Surabaya, Semarang, dan Medan. (Mys/IHW)
Sumber www.hukumonline.com (24/10/08)
Foto Dokumentasi Humas MK (Wiwik BW)