Sejak 2003, Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang terbentuk sebagai hasil dari perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kerap menjadi perhatian masyarakat. Lembaga ini bekerja dengan baik dan relatif bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lembaga ini juga disebut tidak memiliki cacat yang signifikan.
Hal tersebut disampaikan Ketua MK, Mahfud MD di hadapan peserta temu wicara dari Program Magister Hukum Universitas Gadjah Mada yang melakukan kunjungan ke MK, Senin (25/8).
Mahfud menilai bahwa telah terjadi pengujian undang-undang sebanyak 144 kali, merupakan sesuatu yang luar biasa. Pada periode antara tahun 1959 hingga 2003, belum pernah satu pun undang-undang yang digugat karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut akibat dari ketiadaan aturan yang mengatur masalah tersebut. âPadahal pada waktu itu ditengarai banyak sekali undang-undang yang melanggar UUD 1945,â jelasnya.
Pada era sebelum amendemen, undang-undang harus lahir dari inisiatif Presiden, sementara DPR dan parpol hampir tidak berfungsi sama sekali. âSehingga kalau ada undang-undang yang salah, tetap dibiarkan saja berjalan sampai Presiden memutuskan untuk mengubah undang-undang tersebut,â tandas Mahfud.
Pada era reformasi, sambung Mahfud, ada tuntutan untuk melakukan pengujian undang-undang secara konstitusional. Untuk menjawab keinginan itulah MK dibentuk dengan dua ide dasar yaitu sebagai forum previligiatum untuk menjatuhkan Presiden berdasar hukum bukan berdasar kepentingan politik semata dan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review).
Umumnya MK di dunia memiliki tiga kewenangan. Selain sebagai forum previligiatum dan judicial review, MK juga memiliki kewenangan untuk menerima pengajuan perkara constitutional complaint (keluhan konstitusional) yang diajukan seseorang kepada MK karena merasa hak konstitusionalnya dilanggar bukan karena berlakunya sebuah undang-undang melainkan karena putusan pengadilan yang mendasarkan para peraturan perundang-undangan yang keliru.
Pada saat mendirikan MK, urai Mahfud, para pembuat undang-undang merasa cukup untuk mengadopsi dengan sedikit perubahan atas dua kewenangan yang pertama tanpa mengikutkan kewenangan constitutional complaint. Berbeda dengan MK di negara lain, MK RI hanya bersifat perantara dalam fungsinya sebagai forum previligiatum. âMK tidak dapat memberhentikan Presiden akan tetapi dapat memberikan pertimbangan (hukum) sebelum seorang Presiden (dan/atau Wakil Presiden) diberhentikan,â papar Mahfud.
Di masa mendatang, Mahfud menilai MK perlu diberi kewenangan menyangkut penyelesaian constitutional complaint karena banyaknya kasus yang ditangani MK sebenarnya berada di ranah tersebut. Mahfud mencontohkan masalah SKB Ahmadiyah. Sebagai sebuah Surat Keputusan (SK), seharusnya hal tersebut dapat diuji di PTUN. Akan tetapi, melihat sifatnya yang merupakan sebuah peraturan maka PTUN menolak dengan alasan bahwa SK itu harus diajukan ke Mahkamah Agung.
âJika kita diberi kewenangan itu, maka kita dapat menyelesaikan masalah tersebut. Banyak kasus di masyarakat yang belum ada saluran pengadilannya, sementara hak asasi manusia sudah diinjak dan orang tidak berdaya atas nama kepastian hukum karena sudah diputus oleh Mahkamah Agung,â kata Mahfud. (Yogi Djatnika)