Adanya putusan-putusan Mahkamah Agung (MA) yang menerima permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum berdasarkan tafsir yang luas atas frasa âpihak-pihak yang bersangkutanâ, dalam Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 dengan menyampingkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah menyangkut penerapan atau implementasi undang-undang, yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004.
Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara 16/PUU-VI/2008 yang diajukan Pollycarpus Budihari Priyanto, Jumat (15/8), di ruang sidang MK, Jakarta.
Pollycarpus mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 23 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 4/2004) yang berbunyi, âTerhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh undang-undangâ. Karena, ternyata Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah secara limitatif menyebut siapa yang berhak untuk mengajukan permohonan PK, dan Jaksa/Penuntut Umum tidak termasuk di dalamnya. Pollycarpus merupakan narapidana berdasarkan Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 109 PK/Pid/2007, yang menerima permohonan PK yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.
MK, dalam konklusi putusannya, menyatakan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut didasari argumen, bahwa penafsiran hakim berdasarkan metode tertentu yang mengaitkan penafsiran yang dilakukan dengan asas yang berlaku secara umum dalam Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang diuji, melainkan sepenuhnya merupakan persoalan implementasi atau penerapan norma yang dilakukan oleh hakim tersebut.
âBahwa ada saja kemungkinan dalam praktik hakim tidak tepat dalam menerapkan suatu norma dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, maka hal demikian bukanlah kewenangan Mahkamah,â ucap Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya.
Menjawab pertanyaan apakah Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan PK, menurut MK, jika dilihat dari rumusan Pasal 263 ayat (1), Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan PK, karena falsafah yang mendasari PK adalah sebagai instrumen bagi perlindungan hak asasi terdakwa, untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dalam proses peradilan yang dihadapinya.
Memang ada kemungkinan kesalahan dalam putusan pembebasan terdakwa atau ditemukannya bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan terdakwa, seandainya bukti tersebut diperoleh sebelumnya. Namun, proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan putusan di peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum menggunakan kewenangan yang dimilikinya membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, dipandang adil jikalau pemeriksaan PK tersebut dibatasi hanya bagi terpidana atau ahli warisnya karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala kewenangannya dalam proses peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup.
âJikalau benar bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang limitatif tersebut dipandang tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan yang hidup dalam .masyarakat karena terjadinya pergeseran paradigma yang dianut, maka ketentuan hukum dalam Pasal 263 ayat (1) tersebutlah yang harus diubah dan disesuaikan terlebih dahulu dengan kesadaran hukum baru yang berkembang dan hidup dalam masyarakat melalui proses legislasi,â ujar Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya menguraikan pertimbangan hukum putusan.
Mahkamah pun tidak sependapat dengan tafsir historis yang membenarkan praktik menyampingkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP dengan menggunakan doktrin lex posteriori derogat legi priori, karena UU 4/2004 bukanlah mengatur materi yang diatur dalam KUHAP. Seandainyapun hakim yang mempunyai wewenang untuk secara independen melakukan penafsiran terhadap ketentuan undang-undang yang belum jelas, benar dianggap melanggar ketentuan dalam UUD 1945, hal tersebut semata-mata merupakan masalah penerapan atau implementasi undang-undang, bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004.
Jika pun praktik peradilan dapat menunjukkan inkonsistensi yang telah terjadi, dan seandainya praktik demikian juga menimbulkan ketidakpastian hukum yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon, MK tetap berpendapat bahwa hal tersebut bukan menjadi kewenanganya. âHal demikian baru dapat menjadi kewenangan Mahkamah apabila Mahkamah diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengaduan konstitusional (constitutional complaint) sebagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi di banyak negara lain,â jelas ujar Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya.
Dengan kata lain, âpermohonan Pemohon tidak cukup beralasan dan tidak berdasarkan hukum, sehingga oleh karenanya permohonan harus ditolak,â ujar Wakil Ketua MK, Harjono, yang memimpin persidangan.
Terhadap putusan tersebut, Hakim Konstitusi Muhammad Alim, mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) dan Hakim Konstitusi H. Abdul Mukthie Fadjar dan H. Harjono mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). (Luthfi Widagdo Eddyono)