JAKARTA, HUMAS MKRI – Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA) Hotasi D.P. Nababan mengajukan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto UU 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999. Pemohon Perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024 ini mengatakan hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar secara faktual akibat berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang dalam penerapannya sering sekali digunakan sebagai pasal sapu jagat sebab bunyi pasal dan unsurnya tidak tegas.
“Saya menjalani penjara empat tahun kerugian materialnya besar, masa depan saya sulit atas suatu kasus tindakan pihak lain yang merugikan pihak PT Merpati,” ujar Hotasi dalam sidang pendahuluan pada Kamis (28/11/2024) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Selengkapnya bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Kemudian Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Hotasi Nababan merupakan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi yang setelah menjalani proses persidangan kemudian divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 2013. Namun, berdasarkan Putusan Tingkat Kasasi pada 2014/2015, Hotasi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga Pemohon dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp 200 juta.
Menurut Pemohon yang kala itu menjabat Direktur PT MNA telah terbukti dirinya dalam fakta persidangan beritikad baik menjalankan perusahaan milik negara tersebut dan tidak ada mens rea atau niat jahat dalam dirinya untuk merugikan keuangan negara. Menurutnya, penerapan hukum pasal-pasal tersebut menimbulkan permasalahan karena faktanya telah terjadi pergeseran praktik dengan menjerat setiap orang yang dalam kasusnya ada kerugian negara menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, kata Hotasi, kerugian keuangan atau perekonomian negara yang timbul bukan dari perbuatannya dalam memberikan uang.
Hotasi mengatakan proses pembuktian perkaranya hanya ditarik dari fakta-fakta yang terpisah dan tidak saling bersesuaian dirajut sedemikian rupa untuk menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor meskipun bentuk kesalahan pelaku dimaknai dengan cara yang sangat luas. Menurutnya, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor harus menuangkan secara eksplisit rumusan delik untuk kesengajaan (opzet) yang dalam hal ini bentuk kesengajaannya adalah kesengajaan sebagai maksud sehingga bahasa perumusan dalam suatu undang-undang harus berbunyi "setiap orang dengan maksud dst…".
Sebagaimana Pasal 28 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi di Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), pengetahuan, maksud atau kehendak yang menjadi elemen dari kejahatan itu harus ditarik dari keadaan-keadaan faktual yang objektif. Tidak boleh menyimpulkan suatu kejahatan secara asal dan hanya berdasarkan pada asumsi-asumsi, melainkan harus benar-benar dibangun dari fakta yang objektif yang membuktikan atau menunjukkan terjalinnya peristiwa-peristiwa yang relevan yang saling bersesuaian, sehingga dapat disimpulkan pelaku memang menghendaki terjadinya akibat delik.
Akibat rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tersebut tidak memuat rumusan dengan maksud merugikan keuangan atau perekonomian negara, Pemohon dipidana meskipun tidak dapat dibuktikan jika Pemohon dengan sengaja/dengan niat jahat/mens rea merugikan keuangan atau perekonomian negara dan mendapatkan keuntungan. Padahal kerja sama tersebut dilakukan Pemohon adalah murni sebagai keputusan bisnis untuk menyelamatkan keuangan PT MNA, yang sudah diambil dengan itikad baik sesuai prosedur dan prinsip Business Judgement Rules (BJR), tanpa benturan konflik/kepentingan maupun kick-back untuk Pemohon.
“Perumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang tidak menyebut bentuk kesalahan, yakni secara sengaja ataupun lalai yang harus dibuktikan dalam pemenuhan unsurnya menjadikan perumusan pasal ini bertentangan dengan hukum yang jelas (lex certa) dan perumusan hukum yang harus ditafsirkan secara ketat tanpa adaya analogi (lex stricta), hal ini menjadikan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” ujar kuasa hukum Pemohon, Bahren Dalimunthe.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "dengan maksud merugikan keuangan negara dan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum". Kemudian, meminta Mahkamah menyatakan frasa "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "dengan maksud merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”.
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihatnya mengatakan Pemohon perlu menegaskan terkait adanya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan sebagian permohonan dan dalam amar putusannya menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Kenapa Saudara perlu tegaskan di sini karena ini nanti kalau dikaitkan dengan petitum Saudara, ada yang tidak konsisten. Saudara hidupkan lagi itu kata “dapat” di bagian petitum itu, tolong ini nanti Saudara lengkapi,” kata Enny.
Sementara itu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengingatkan bahwa pasal yang diajukan untuk diuji ini termasuk lex specialis atau hukum yang bersifat khusus. Pemohon pun diminta mempertegas kembali uraian argumentasi permohonan untuk meyakinkan Mahkamah.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan Pemohon memiliki waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas permohonan baik soft copy maupun hard copy paling lambat diterima Mahkamah pada Rabu, 11 Desember 2024.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.