JAKARTA, HUMAS MKRI - Melalui Webinar Konstitusi, M. Ali Safa’at mengajak sejumlah mahasiswa dari Universitas Palangka Raya (UPR), Kalimantan Tengah, serta sejumlah mahasiswa dari universitas lainnya yang tergabung dalam fasilitas smartboard mini court room atau video conference (vicon) MK untuk berdiskusi jarak jauh dalam kegiatan bertema “Reformasi Kementerian negara dalam Perspektif Konstitusi”, Jumat (15/11/2024). Mengawali diskusi daring ini, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya tersebut membahas tentang pertimbangan pembentukan kementerian negara yang dinilai penting. Sebab selain sebagai pembantu presiden, menteri dalam tatanan ketatanegaraan menjadi pihak yang membuat program dari satu kementerian. Program yang dibuat tersebut juga sebagai bentuk dari terjemahan visi dan misi presiden yang disesuaikan dengan konstitusi.
Sebagaimana diketahui, sambung Ali, Indonesia menganut sistem presidensial yang bermakna masing-masing lembaga, mulai dari presiden, DPR, hingga lembaga yudikatif saling mengawasi kerjanya. Sebagai pemegang kekuasaan, presiden dapat membentuk penyelenggara pemerintahan dengan tetap berpedoman pada kerangka konstitusi. Dengan kedudukannya di bawah presiden, secara otomatis membuat menteri-menteri hanya bertanggung jawab pada presiden. Sehingga presiden dapat mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya.
Mendapati perkembangan pemerintahan baru saat ini, Ali melihat adanya perdebatan tentang menteri-menteri yang diangkat dari partai politik. Menurut Ali, pilihan ini secara langsung dan tidak langsung dapat mengganggu dan/atau berpengaruh pada sistem presidensial yang dianut Indonesia. Oleh karenanya, hal ini perlu dilihat secara lebih luas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Keterpilihan anggota partai politik dalam pemerintahan, tak ayal dapat mengarahkan kebijakan pemerintah menjadi condong kepada parlementer. Karena pertimbangan kebijakan yang dibuat tak hanya disesuaikan dengan agenda presiden, tetapi juga dengan agenda atau kepentingan partai politik.
“Sehingga hal ini dapat berdampak pada fungsi check and balances yang dilakukan oleh DPR terhadap suatu kementerian, bagaimana anggota DPR yang banyak dari partai memanggil salah satu menterinya. Satu sisi adalah anggota atau petinggi parpol, ini dapat mengganggu sifat presidensialisme Indonesia dan cenderung pada parlementarialisme yang tidak ada di dalam UUD 1945,” jelas Ali.
Selanjutnya terkait dengan urusan pemerintahan, presiden sejatinya dapat beberapa kementerian yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, di antaranya agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
Sementara itu, untuk urusan pemerintahan tertentu, Presiden juga dapat membentuk kementerian dan menunjuk menteri guna melakukan penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program. Misalnya dalam urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.
“Namun tetap harus adanya efisiensi, ruang lingkup atau cakupan, dan keterpaduan pelaksanaan tugas dari setiap kementerian yang ada dan baru (pemecahan dari kementerian karena urusan pemerintahan tertentu). Ketika ada pemecahan kementerian ini sebenarnya sebuah tantangan tersendiri. Tetapi apakah dengan penambahan atau pemecahan kementerian itu akan dapat menghasilkan suatu kerja yang terbebas dari aspek politik dan hukum dalam pelaksanaan roda pemerintahan? Sebab pada pembentukan kabinet, secara nilai tidak mengacu kepada UU Kementerian Negara dan konstitusi karena dalam pelaksanaannya hal itu tidak tercerminkan,” papar Ali.
Untuk diketahui bersama bahwa selain memiliki kewenangan yudisial, MK juga berperan dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak konstitusional dan ideologi Pancasila. Melalui berbagai kegiatan edukasi dan sosialisasi, MK berusaha memperdalam pengetahuan masyarakat tentang hak-hak yang dilindungi oleh UUD 1945 dan pentingnya Pancasila sebagai dasar negara. Salah satunya melalui optimalisasi fasilitas smartboard mini court room berupa video conference (vicon), baik di perguruan tinggi maupun desa konstitusi di daerah binaan yang tersebar pada 66 lokasi.
Selain sebagai penunjang persidangan jarak jauh, pada 2024, sarana vicon dimanfaatkan secara lebih optimal bagi sarana peningkatan pemahaman hak konstitusional melalui program perkuliahan umum secara daring. Pada agenda kuliah umum ini, MK mengajak para narasumber di bidang hukum dari berbagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia dan tokoh-tokoh bangsa yang memahami pemaknaan konstitusi dan Pancasila. Melalui berbagai topik menarik sesuai perkembangan dan kebutuhan pengetahuan hukum dan konstitusi masyarakat, para ahli akan membagi pengetahuan dan pengalaman dengan para peserta perkuliahan dalam ruang diskusi daring ini. Dari kegiatan ini, diharapkan wawasan terkait hak konstitusional dan ideologi Pancasila warga negara khususnya kalangan akademisi semakin memahami secara konsep dan praktik terhadap pemaknaan nilai-nilai Pancasila serta konstitusi. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.