KUDUS, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) dan Universitas Muria Kudus (UMK) menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU) serta menggelar Seminar Nasional bertema “Mahkamah Konstitusi: Mengawal Demokrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah” pada Jumat (1/11/2024). Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang hadir sebagai narasumber seminar ini menjelaskan bahwa pemilihan umum (pemilu) secara berkala menjadi indikator penting dari demokrasi di Indonesia. Dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) sesuai Pasal 18 Ayat (4), kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan walikota, kini rakyat memilih langsung dalam pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Arief menguraikan, pada awal reformasi, pilkada diartikan sebagai pemilihan oleh DPRD. Namun, setelah ditemukan sejumlah persoalan, sistem tersebut diubah sehingga kepala daerah kini dipilih langsung oleh rakyat.
Arief juga menyinggung tantangan dalam penyelesaian sengketa Pilkada Serentak 2024, di mana terdapat 545 daerah yang akan melaksanakan pemilihan, meliputi 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Arief menegaskan bahwa sengketa yang terkait dengan administrasi dan pelanggaran pidana yang tidak selesai oleh Bawaslu dan Gakkumdu seringkali diajukan sebagai perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke MK.
Pada akhir paparannya, Arief menekankan pentingnya peran akademisi sebagai penjaga moral dan etika, yang tidak hanya harus menyuarakan kebenaran dan keadilan, tetapi juga menghindari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menurutnya, akademisi harus berperan aktif, tidak hanya hidup di “menara gading” yang terisolasi dari masyarakat, melainkan bekerja sama dengan seluruh elemen bangsa demi memperjuangkan demokrasi yang inklusif, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun ekologi.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan dalam laporannya menyatakan bahwa kerja sama dengan perguruan tinggi merupakan kebutuhan strategis. Tanpa dukungan dari kalangan akademis, MK tidak akan dapat menjalankan tugas konstitusionalnya secara optimal.
Heru mengungkapkan, kegiatan ini merupakan penandatanganan MoU ketiga antara MK dan UMK. Penandatanganan MoU pertama dilakukan pada 2 Januari 2012 dan kedua pada 2 Mei 2019. Hal ini menunjukkan komitmen berkelanjutan MK dalam bersinergi dengan perguruan tinggi, khususnya dalam mendukung pendidikan tinggi hukum.
MoU tersebut memiliki dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan pemahaman akan hak konstitusional dan kesadaran berkonstitusi di kalangan masyarakat. Kedua, MK-UMK bersama-sama berkontribusi dalam peningkatan mutu pendidikan tinggi hukum.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.