JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan gugur terhadap permohonan Putra Arista Pratama yang berprofesi sebagai karyawan swasta dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Nomor 141/PUU-XXII/2024 pada Kamis (31/10/2024). Terhadap uji materiil Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Juncto Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ini, Ketua MK Suhartoyo membacakan ketetapan Mahkamah.
Terhadap permohonan Pemohon ini, Mahkamah telah menjadwalkan Sidang Pendahuluan pada 15 Oktober 2024 dengan agenda mendengarkan permohona Pemohon. Mahkamah telah memanggil secara sah dan patut melalui Kepaniteraan MK. Selain itu, Mahkamah melalui Juru Panggil telah pula menghubungi Pemohon namun hingga persidangan berlangsung Pemohon tidak merespon. Bahkan Panel Hakin telah membuka sidang dan memanggil Pemohon untuk memasuki ruang sidang, tetapi Pemohon tetap tidak hadir.
Kemudian Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 21 Oktober 2024, berkesimpulan ketidakhadiran Pemohon pada sidang pertama menunjukkan Pemohon tidak sungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan. Atas panggilan sidang yang telah disampaikan secara sah dan patut, maka setiap warga negara harus memenuhinya kecuali berhalangan dengan alasan yang sah. Dengan demikian permohonan Pemohon dinyatakan gugur. “Menetapkan, menyatakan permohonan Pemohon gugur,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan ketetapan perkara ini dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga: Lulusan Teknik Elektro yang Menguji UU JPH Tak Hadiri Sidang
Pada Sidang Pendahuluan lalu, di dalam permohonan Pemohon menuliskan dirinya merasa atas berlakunya Pasal 48 point 9 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang juncto Pasal 14 ayat (2) point c Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) menciptakan diskriminasi atas kesempatan kerja yang terbuka baginya. Menurutnya pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Semula norma tersebut membuka lapangan pekerjaan bagi semua lulusan sarjana S1 dari semua jurusan untuk dapat menjadi auditor halal dan bekerja di Lembaga Pemeriksa Halal, terlebih saat ini Pemerintah sedang giat melakukan kewajiban produk halal. Namun kemudian norma terbaru justru memberikan kualifikasi yang berbeda dalam masing-masing profesi tersebut. Bahkan norma tersebut terlalu spesifik menyebut kualifikasi pendidikan, dengan hanya menyebutkan sarjana teknik bidang industri dan kimia saja yang dapat menjadi auditor halal.
Untuk itu, dalam petitum permohonan Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan redaksional baru atas Pasal 48 point 9 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang juncto Pasal 14 ayat (2) point c Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yaitu “berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu)”, sehingga bunyi pasal tersebut adalah “Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) d. memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; e. mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan f. memperoleh sertifikat dari MUI.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina