JAKARTA, HUMAS MKRI – Zulferinanda yang berprofesi sebagai karyawan mengujikan Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Pendahuluan dari Perkara Nomor 149/PUU-XXII/2024 ini digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Kamis (24/10/2024).
Pemohon menyebutkan Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 1 huruf (a) UU HPP yang berbunyi, “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah : f. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak: a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b) badan dalam negeri” dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Sebab, pada norma baru disebutkan dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi di dalam negeri tidak lagi sebagai objek PPh (pajak penghasilan), sepanjang dividen tersebut dinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu paling singkat tiga tahun pajak, terhitung sejak tahun pajak dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 36 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18 Tahun 2021 yang menjadi norma aturan turunan dari UU HPP.
Dengan kata lain, dividen berupa tabungan atau deposito yang disimpan di dalam negeri selama tiga tahun sudah bisa dikategorikan sebagai penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh atau sederhananya akan menjadi objek yang dikenai PPh. Atas dasar hal tersebut, Pemohon menilai tidak adil jika penghasilan berupa gaji/honor/bonus yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari para karyawan dikenai PPh, sedangkan dividen yang diterima pengusaha yang menginvestasikan kelebihan dana perusahaannya dalam bentuk saham tidak dikenai PPh.
“Oleh karena itu, menetapkan penghasilan dividen dalam negeri yang diterima wajib pajak orang pribadi sebagai salah satu bukan objek PPh dengan syarat tertentu dianggap sebagai keputusan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 dan bahkan dapat menimbulkan ketidakadilan dan perbedaan perlakuan wajib pajak orang pribadi pengusaha dengan wajib pajak orang pribadi lainnya seperti karyawan/pegawai sehingga perlu menghapus norma tersebut,” tandas Pemohon kepada Majelis Sidang Panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani bersama dengan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh sebagai hakim anggota.
Kedudukan Hukum
Hakim Konstitusi Daniel dalam nasihat Majelis Sidang Panel memberikan catatan tentang kedudukan hukum dan kerugian konstitusional terkait dengan norma dengan pajak, sehingga Pemohon dapat menyatakan diri sebagai pembayar pajak (tax payer). Dengan adanya NPWP yang disertakan tersebut dapat dijadikan salah satu bukti pernah membayar PPh termasuk adanya pembayaran atas dividen.
“Kemudian Pemohon harus mengaitkan pasal yang diuji dengan landasan pengujian dalam konstitusi tersebut, sehingga aspek kerugiannya terlihat dan mampu meyakinkan hakim. Selain itu, Pemohon juga dapat menyertakan teori, asas, doktrin, atau perbandingkan dengan negara lain, sehingga tercermin ketidakadilan dari norma yang diujikan ini,” jelas Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman meminta agar Pemohon memperhatikan bagian petitum yang dimohonkan ke Mahkamah. Sedangkan Hakim Konstitusi Arsul menambahkan mengenai perlu bagi Pemohon untuk melihat putusan dan permohonan terdahulu yang senada dengan permohonan Pemohon.
“Sehingga rumusan permohonan menjadi lebih sempurna dan kemudian Pemohon juga dapat membuat argumentasi kerugian konstitusional dengan uraian yang lebih tegas dan jelas karena memperbandingkan wajib pajak yang penghasilannya kena pajak dan ada wajib pajak yang dividennya dikenai pajak dan tidak dikenai pajak,” sampai Arsul.
Pada penghujung persidangan, Hakim Konstitusi Arsul menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 6 November 2024 pada jam kerja ke Kepaniteraan MK. Untuk kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan Pemohon. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina