JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon memperbaiki permohonan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Dalam permohonannya, para Pemohon menyebutkan dalam naskah akademik Rancangan UU Tapera, pembuat undang-undang bermaksud membuat konsep tabungan wajib dengan mengambil pelajaran dari praktik yang berlaku pada lima negara lain yaitu Perancis, Jerman, Cina, Singapura, dan Malaysia.
Namun faktanya dari kelima negara tersebut, hanya Cina yang menggunakan konsep tabungan perumahan rakyat yang wajib dan mengikat, tetapi mengalami kegagalan. “Faktanya dari kelima negara tersebut, hanya Cina yang menggunakan konsep tabungan perumahan rakyat yang wajib dan mengikat. Itu pun mengalami kegagalan,” ujar kuasa hukum para Pemohon Muhammad Raziv Barokah dalam sidang perbaikan permohonan pada Senin (14/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Para Pemohon menguraikan Cina memulai sistem pembiayaan rumah pada 1991 dengan menerapkan Housing Provident Fund (HPF). Secara ringkas mekanisme dari penerapan tabungan perumahan di Cina dimulai dari seorang pekerja peserta HPF yang akan membeli rumah kemudian berhubungan dengan lembaga pengelola HPF serta bank komersial yang akan membiayai pembelian rumah. HPF kemudian akan mengucurkan dana untuk pembayaran rumah kepada pengembang.
Tabungan HPF di Cina bersifat wajib bagi seluruh pekerja sektor formal (pegawai negeri, pegawai perusahaan milik negara, perusahaan penanaman modal asing, dan perusahaan swasta). Kontribusi pekerja dan pemberi kerja sama-sama memberikan kontribusi sebesar 5 persen dari gaji pekerja dan pendapatan.
Sedangkan, dia menyebutkan Perancis dan Jerman menempatkan tabungan perumahan sebagai pilihan (non-mandatory). Sementara Singapura dan Malaysia tidak mengenal tabungan perumahan rakyat, melainkan menerapkan iuran wajib jaminan sosial yang bisa juga dimanfaatkan untuk kebutuhan perumahan.
Jika melihat beberapa contoh perbandingan tabungan perumahan di beberapa negara di atas, maka hal serupa yang ingin dilakukan pemerintah Indonesia adalah seperti tabungan perumahan di Cina. Hal tersebut dapat dilihat dari tabungan secara khusus yang mengatur pembiayaan perumahan dan penerapan prinsip wajib bagi setiap pekerja untuk menjadi anggotanya, serta pemberi kerja untuk memberikan kontribusi. Sedangkan di negara-negara lainnya tabungan perumahan tidak bersifat wajib, jika wajib, hal tersebut merupakan satu bagian dari jaminan sosial lainnya, bukan tabungan perumahan yang terpisah.
“Bahwa pertimbangan pembentuk undang-undang untuk mengikuti penerapan yang dilakukan negara Cina juga amat keliru, karena faktanya program tersebut gagal di China. Kegagalan tersebut terjadi karena muncul masalah-masalah baru yakni di antaranya berupa ketimpangan pemanfaatan program HPF antara masyarakat berpenghasilan rendah dengan berpenghasilan lebih tinggi, penyalahgunaan dana simpanan; serta uang hasil HPF yang tidak cukup dan harus dikombinasikan dengan pendanaan atau program lainnya,” kata dia.
Dalam perbaikan permohonan ini, Para Pemohon hanya mengajukan pengujian dua pasal dari sebelumnya tiga pasal. Pasal yang diuji itu antara lain Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) UU Tapera. Para Pemohon Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024 ini mendalilkan ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Baca juga:
Sejumlah Serikat Pekerja Persoalkan Kewajiban Pekerja Jadi Peserta Tapera
Para Pemohon merupakan serikat-serikat buruh yang menaungi jutaan buruh merasa kebijakan pemerintah terkait setiap pekerja yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi anggota Tapera telah bertentangan dengan konstitusi. Sebab, bersifat wajib atau memaksa seolah-olah seperti pajak, serta bukan juga termasuk dalam pungutan lain yang bersifat memaksa untuk diikuti setiap pekerja masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun non-MBR.
Sebagai informasi, Pasal 7 ayat (1) UU Tapera berbunyi, “Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta.” Kemudian Pasal 9 ayat (1) UU Tapera menyatakan, “Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh Pemberi Kerja.”
Bagi Para Pemohon yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat pekerja MBR, yakni masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah (Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman), tentu potongan upah sebesar 3 persen akan semakin membebani hidup mereka di tengah kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang ala kadarnya. Selain potongan Tapera tersebut, sejatinya beban hidup mereka telah banyak dari potongan program-program jaminan sosial lainnya, akan semakin membuat kehidupan mereka semakin tertekan, khususnya oleh kenaikan inflasi.
Bagi pekerja non-MBR yang notabene dapat dikatakan telah aman secara finansial dan mungkin telah memiliki hunian setidaknya satu unit, isu utama terfokus pada asas kemanfaatan dari adanya program Tapera tersebut. Pemotongan gaji atau upah yang disetorkan setiap bulan akan menjadi apa di kemudian hari, sementara mereka baru dapat melikuidasi tabungannya setelah masuk usia pensiun. Kendati kelak akan disematkan predikat “penabung mulia”, sepertinya tidak akan berdampak apapun bagi pekerja non-MBR dari segi kemanfaatan.
Sama halnya dengan pemberi kerja yang wajib menyetorkan 0,5 persen bagi program Tapera, tentu akan menjadi beban tambahan baru bagi usaha. Artinya, hal tersebut dapat mengganggu jalannya produktivitas usaha mengingat munculnya beban tanggungan baru.
Di sisi lain, sebagai masyarakat berpenghasilan di Indonesia, khususnya yang memiliki penghasilan rendah, telah mendapatkan potongan-potongan wajib yang cukup banyak. Adapun potongan-potongan tersebut antara lain Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta Pajak Penghasilan (PPh). Para Pemohon memperkirakan seorang pekerja yang setiap bulannya wajib membayar iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan PPh21 mendapatkan potongan pendapatan berkisar pada angka 8,7 persen dari gaji per bulan yang didapatkan.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.