JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) terhadap dua perkara sekaligus, Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Leonardo Olefins Hamonangan (Pemohon I) dan Ricky Donny Lamhot Marpaung (Pemohon II) dan Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) pada Senin (7/10/2024).
Sidang ketiga dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan tujuh hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK. Namun pada persidangan ini, baik Pemerintah maupun DPR belum dapat memberikan keterangan atas dalil-dalil yang dinyatakan oleh para Pemohon.
“Kedua lembaga itu bersurat ke MK bahwa keterangannya belum bisa disampaikan karena masih perlu persiapan, sedangkan DPR minta dijadwal ulang pemanggilan pada sidang berikutnya. Artinya keteranganya belum bisa disampaikan pada persidangan hari ini,” sampai Ketua MK Suhartoyo.
Baca juga:
Kewajiban dan Tolok Ukur Peserta Tapera Dipertanyakan
Pemohon Melampirkan Hasil Survei Penolakan Kepesertaan Tapera
Pada Sidang Pendahuluan, Senin (5/8/2024) Leonardo Olefins Hamonangan (Pemohon I) dan Ricky Donny Lamhot Marpaung (Pemohon II) dalam Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024 mengujikan Pasal 7 ayat (1) dan ayat 2, Pasal 72 ayat (1) huruf c UU Tapera. Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Para Pemohon menyatakan kewajiban Tapera menguras pendapatan masyarakat rendah, sedangkan biaya hidup semakin tinggi dan ditambah pula adanya potongan upah untuk BPJS dan biaya lainnya. Pemohon I yang bekerja sebagai karyawan swasta nantinya akan mengalami pemotongan gaji sebesar 3% untuk simpanan Tapera, sehingga ini menambah beban finansial.
Bahkan menurut para Pemohon, Pasal 7 ayat (3) UU Tapera dapat menimbulkan ketidakjelasan tolok ukur penetapan peserta Tapera. Apakah kepesertaan menjadi anggota Tapera saat seseorang berusia 20 tahun atau saat sudah kawin. Dengan demikian, frasa “atau” menimbulkan celah hukum yang memungkinkan bagi pekerja yang sudah bekerja tetapi belum kawin untuk mengulur menjadi peserta Tapera. Konsidi ini membuat Pemohon I diperlakukan tidak adil dan tidak mendapatkan kepastian hukum. Sementara untuk Pemohon II yang menjadi pelaku UMKM merasa dirugikan dengan pasal-pasal tersebut karena mempengaruhi pendapatannya yang harus mengeluarkan sejumlah iuran sebesar 3% dari pendapatan sebagai pekerja mandiri. Terlebih lagi, pada pasal-pasal tersebut bagi pelaku usaha akan dikenakan sanksi berupa pembekuan dan pencabutan izin usaha yang sangat memberatkan dan merugikan secara finansial dan prinsip bisnis. Ketiadaan tolok ukur yang jelas dan tahap-tahap pengenaan sanksi terhadap pekerja mandiri ini berpotensi melanggar hak konstitusionalitas Pemohon II.
Sementara itu pada Sidang Pendahuluan Selasa (6/8/2024) lalu, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dalam Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 menyatakan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Pemohon menyebutkan upah pekerja/buruh mandiri masih kecil bahkan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup layak, diharuskan membayar iuran jaminan sosial yang cukup besar termasuk Tapera, sehingga program Tapera ini tumpang tindih dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Ditambah pula peserta Tapera dan pemberi kerja yang membayar simpanan Tapera, sedangkan peserta yang berhak mendapatkan manfaat pembiayaan perumahan hanyalah peserta yang sama sekali belum memiliki rumah. Selain itu, keangotaan Komite Tapera tidak mengikutsertakan unsur dari pekerja/buruh dan pengusaha, sehingga norma yang diujikan ini berlaku tidak adil dan/atau bersifat diskriminatif. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan