JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pengujian Materiil terhadap Pasal 48 ayat (1), Pasal 50 ayat (4), Pasal 50 ayat (10) huruf a dan b, serta Pasal 50 ayat (11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Kamis (26/9/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara Nomor 104/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Armyn Rustam Effendy dan Rahayu Ahadiyati.
Dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani, Mahkamah berpandangan bahwa berkas tambahan dari Pemohon yang disampaikan oleh kuasa hukum dengan surat kuasa yang baru kepada Mahkamah pada 5 September 2024, tidak serta-merta dapat memperbaiki kecacatan dokumen surat permohonan beserta surat kuasa yang dipergunakan pada saat mengajukan permohonan kepada Mahkamah. Demikian pula, surat pencabutan kuasa yang dibuat tidak berarti menyelesaikan persoalan keabsahan tanda tangan pada surat permohonan para Pemohon dan surat kuasa khusus bertanggal 21 Juli 2024 yang dijadikan dasar oleh kuasa hukum para Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang a quo ke Mahkamah. Apalagi surat pencabutan kuasa tersebut hanya ditandatangani oleh satu orang kuasa hukum, di mana surat kuasa khusus yang disebutkan dicabut menyatakan pemberian kuasa kepada 73 kuasa hukum.
Terlebih, sambungnya, terdapat pernyataan dalam surat pencabutan kuasa hukum yang menyatakan “tidak adanya kesepakatan yang jelas di antara kita mengenai cara-cara penangangan perkara sebagaimana dimaksud dalam surat kuasa tersebut” yang memperkuat keyakinan Mahkamah bahwa telah terdapat persoalan dalam pemberian kuasa hukum dan pembuatan surat kuasa permohonan a quo. Oleh karena itu, dengan merujuk pada fakta yang terungkap di persidangan, menurut Mahkamah, surat kuasa khusus bertanggal 21 Juli 2024 yang digunakan sebagai dasar dalam pengajuan permohonan pengujian undang-undang yang kemudian diregistrasi sebagai Perkara Nomor 104/PUU-XXII/2024 adalah surat kuasa yang tidak sah dan tidak dapat dibenarkan.
“Terlebih lagi, para Pemohon mengajukan kembali perbaikan permohonan bertanggal 5 September 2024 dengan kuasa hukum baru setelah sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda Perbaikan Permohonan. Perbaikan permohonan demikian, adalah sesuatu yang tidak dikenal/lazim dalam hukum acara sehingga tidak dapat dibenarkan, dan oleh karena itu tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” ujar Arsul.
Menurut Arsul, keabsahan tanda tangan surat kuasa dari seorang pemohon dan tanda tangan kuasa hukum dari pemohon pada surat permohonan pengujian undang-undang atau permohonan perkara lainnya merupakan bagian dari aturan dan tertib beracara dalam pengajuan permohonan perkara di Mahkamah, in casu permohonan pengujian undang-undang yang dimohonkan oleh para Pemohon.
Arsul menyebut, makna frasa “yang ditandatangani oleh Pemohon” pada Pasal 11 ayat (2) PMK 2/2021 dan frasa “ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukum" pada Pasal 12 ayat (2) adalah ditandatangani secara langsung oleh pemohon asli (prinsipal) atau kuasa hukum yang diberi kuasa dan tidak bisa dimaknai dapat ditandatangani oleh orang lain, termasuk tanda-tangan yang mewakili Pemohon atau kuasa hukum Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah harus dan akan selalu memastikan soal keabsahan dan tertib tanda tangan pada dokumen yang diajukan ke hadapan Mahkamah termasuk surat permohonan dan surat kuasa agar proses peradilan di Mahkamah didasarkan pada dokumen-dokumen yang absah secara hukum. Mahkamah memandang penting hal demikian karena jika suatu permohonan pengujian undang-undang dikabulkan oleh Mahkamah, putusan Mahkamah bukan saja menimbulkan perubahan terhadap berlakunya suatu norma undang-undang, tetapi putusan tersebut mempunyai sifat mengikat terhadap setiap warga negara dan lembaga negara (erga omnes).
“Dengan konsekuensi putusan Mahkamah yang demikian, maka secara hukum tidak dapat diterima jika putusan Mahkamah berasal dari suatu permohonan yang di dalamnya terdapat problem keabsahan dokumen yang mendasari proses perkara. Berdasarkan hal-hal tersebut, oleh karena terdapat persoalan keabsahan surat kuasa para Pemohon yang menjadi dasar pengajuan permohonan a quo yang diakui sendiri oleh kuasa hukum dalam persidangan, maka permohonan para Pemohon haruslah dinyatakan tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan,” tegasnya.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon, namun permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan sehingga kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Sebelumnya, Para Pemohon pada sidang pendahuluan, menyampaikan bahwa pemberlakuan Pasal 48 ayat (1) UU Jalan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Di Indonesia sudah ada preseden terkait jalan tol yang telah habis masa konsensinya dan kemudian digratiskan, seperti pada kasus Tol Jembatan Suramadu. Oleh karena itu, terdapat dasar hukum yang kuat untuk menjadikan jalan tol yang berbayar dan telah habis masa konsensinya serta tidak diperpanjang lagi, dialihkan menjadi jalan bebas hambatan yang dapat diakses masyarakat secara gratis. Mengenai perawatan jalan tersebut, Pemohon mengusulkan agar pemerintah pusat menggunakan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Lebih lanjut, Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 50 ayat (11) UU Jalan, yang mengatur tarif tol dari pengusahaan baru setelah masa konsensi berakhir dan tidak diperpanjang, yang ditetapkan lebih rendah daripada tarif tol yang berlaku pada akhir masa konsensi. Menurutnya, aturan ini merupakan tindak lanjut dari Pasal 50 ayat (10) huruf b UU Jalan, Pemerintah Pusat setelah mendapatkan pengusahaan jalan tol kembali karena masa konsensi berakhir, dapat memilih menjadikan jalan tol tersebut sebagai jalan bebas hambatan non-tol atau menugaskan pengusahaan baru kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pengoperasian dan preservasi jalan tol. Jika Pemerintah Pusat memilih menugaskan BUMN untuk mengusahakan jalan tol tersebut, maka tarif tol yang ditetapkan harus lebih rendah daripada tarif tol yang berlaku pada akhir masa konsensi.
Oleh karena itu, dengan diberlakukannya Pasal 50 ayat (11) Undang-Undang Jalan, yang berbunyi 'Tarif Tol awal dari pengusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b ditetapkan lebih rendah daripada tarif Tol yang berlaku pada akhir masa konsesi,' bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Kami memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 50 ayat (11) tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menerima dan/atau mengabulkan seluruh permohonan Para Pemohon.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina