JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Perkara Nomor 109/PUU-XXII/2024 perihal Permohonan Pengujian Pasal 72 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), Senin (26/8/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan perkara ini diajukan oleh seorang dosen sekaligus advokat bernama Rega Felix.
Adapun Pasal 72 ayat (5) UU Dikti menyatakan, “Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.”
Menjelaskan kedudukan hukumnya dalam perkara ini, Pemohon mengungkapkan tanggung jawab moralnya untuk memperjuangkan kehormatan dan martabat profesi dosen melalui MK. Hal ini dianggap Pemohon sebagai bentuk penerapan ilmu dan sumpahnya.
Selanjutnya, Pemohon menyatakan bahwa frasa “kompetensi luar biasa” perlu ditafsirkan secara konstitusional oleh MK. Pemohon juga menegaskan bahwa ia tidak menyangkal adanya pihak non-akademik dengan “kompetensi luar biasa” seperti yang diatur dalam pasal tersebut. Namun, Pemohon berpendapat bahwa hal ini perlu dibuktikan secara akademis dan dapat diuji melalui karya nyata, bukan hanya berdasarkan “ketokohan” atau “jabatan”.
Lebih lanjut, pasal tersebut dinilai Pemohon sebagai jalur seketika yang seharusnya memiliki persyaratan serupa dengan posisi profesor paripurna menurut Pasal 49 ayat (3) UU Dikti. Pemohon percaya bahwa persyaratan ini mencerminkan keadilan, dimana seseorang yang menjadi profesor dengan “kompetensi luar biasa” perlu membuktikan keistimewaannya.
“Makna "kompetensi luar biasa" harus diberikan batasan minimum melalui tafsir konstitusional. Jangan sampai perguruan tinggi secara asal-asalan mengusulkan gelar profesor dan menteri mengangkat secara asal-asalan. Ketika makna norma dalam tingkat UU tidak jelas pada akhirnya norma pada tingkat aturan pelaksana juga dapat dimaknai sesukanya hingga akhirnya obral gelar profesor dimungkinkan. Dengan demikian, telah dengan sangat jelas norma Pasal 72 ayat (5) UU Pendidikan Tinggi inkonstitusional bersyarat terhadap ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 karena dapat merendahkan martabat dan kehormatan dosen sebagai profesi yang mulia,” jelasnya.
Untuk itu, pada petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 72 ayat (5) UU Dikti inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa yang dibuktikan dengan karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa di bidangnya dan mendapat pengakuan internasional pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.”
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon untuk mempertegas legal standing. “Saudara perkuat bagian legal standing. Benar tidak saudara ini dosen, buktinya apa. Kemudian anda uraikan apakah kalau dikaitkan dengan norma yang diajukan pengujian ini memang kemudian berlakunya norma ini ada hak konstitusional saudara yang diberikan undang-undang dasar itu saudara merasa ada yang dirugikan di situ. Haknya tuh yang mana, hak konstitusional yang diberikan oleh UUD itu. Apakah Pasal 28G ayat (1) atau yang lain. Saudara harus bisa menguraikan,” jelas Enny menasihati.
Sebelum menutup persidangan, Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk Pemohon memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan paling lambat diterima oleh MK pada Senin 9 September pukul 15.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.