JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 (UU 24/2009) tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan pada Selasa (6/8/2024), di Ruang Sidang MK.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 94/PUU-XXII/2024, diajukan oleh Ratri Aisa Wulandari. Pemohon menguji Pasal 25 Ayat 1 UU 24/2009 yang menyatakan, “Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa”.
Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara tersebut dilaksanakan oleh majelis panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur Bersama Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Dalam persidangan, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyampaikan bahwa Mahkamah telah mengirimkan surat panggilan kepada Pemohon sebanyak dua kali. Mengingat Pemohon tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa alasan yang sah, maka sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021, permohonan ini berpotensi dinyatakan gugur. Kendati demikian, panel hakim akan membawa perkara ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
“Karena sudah dipanggil dua kali dan juga surat panggilan yang ada pada panel itu sudah sah mengenai panggilannya, tentunya panel akan menentukan sikap nanti,” kata Ridwan.
Pokok Permohonan
Pemohon dalam permohonannya menyebutkan bahwa pasal tersebut tidak mempunyai kepastian hukum dan memberikan celah legalitas kepada pembentuk peraturan perundang-undangan serta menimbulkan konflik kepentingan terhadap masyarakat. Pada prinsipnya, Pemohon merasa ketentuan tersebut menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi.
Pemohon mengungkapkan bahwa bahasa yang dimaksud tidak dapat digunakan untuk berkomunikasi lisan dan tulis yang bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Pemohon juga berpendapat apabila permohonannya tidak dikabulkan, bangsa Indonesia akan mempunyai undang-undang yang anomali tanpa tata cara penggunaan selamanya.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan pasal 25 ayat (1) UU 24/ 2009 bertentangan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang Pasal 25 ayat (1) UU a quo tidak dimaknai sebagai "Bahasa lisan negara ialah bahasa lisan Indonesia dan bahasa tulis negara ialah bahasa tulis Indonesia serta aksara negara ialah aksara Indonesia." Dan sepanjang tidak dimaknai dengan “untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada perkara a quo pembentuk peraturan Perundang-Undangan wajib menghadirkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful partisipation) dalam setiap tahapan pembentukan perturan perundang-undangan. Serta sepanjang tidak dimaknai, "Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan wajib menjelaskan dan mempublikasikan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksut pada perkara a quo selambat lambatnya atau paling lama satu minggu terhitung sejak masukan diterima oleh Pembentuk Peraturan Perundang Undangan dan sepanjang tidak dimaknai dengan "Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada perkara a quo diatur dalam undang-undang yang wajib diundangkan selambat lambatnya atau paling lama dua belas hari kerja sejak putusan Mahkamah Konstitusi ditetapkan.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.