JAKARTA, HUMAS MKRI – Maribati Duha, ahli waris dari penerima manfaat atas nama Almarhum Sopan Santun Duha, mengajukan pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Menurut Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024 ini, ketentuan norma dalam pasal tersebut membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi memanfaatkan peraturan undang-undang guna kepentingan pribadi perusahaan.
“Yang melakukan pengujian pada saat ini adalah Maribati Duha (istri Sopan Santun Duha) yang merupakan ahli waris dari almarhum Sopan Santun Duha,” ujar kuasa hukum Pemohon, Eliadi Hulu di hadapan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah di Ruang Sidang, Kamis (1/8/2024).
Pasal 251 KUHD menyebutkan, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.”
Eliadi menjelaskan, ketentuan norma Pasal 251 KUHD juga dapat dimanfaatkan guna menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh tim internal perusahaan asuransi itu sendiri. Kelalaian dimaksud antara lain underwriting ulang atau seleksi risiko yang merupakan proses penaksiran dan penggolongan tingkat risiko yang ada pada seorang calon tertanggung.
Underwriting sering kali kembali dilakukan bahkan hampir selalu dilakukan perusahaan asuransi apabila ahli waris mengajukan klaim atas nilai manfaat yang diperjanjikan dalam polis. Hal ini sebagaimana dialami Pemohon pada saat mengajukan klaim ke Prudential. Tindakan perusahaan tersebut merupakan motif atau tricky untuk membatalkan polis atau setidak-tidaknya mengurangi nilai manfaat yang dapat diklaim sebagaimana dialami Pemohon. Motif itu seolah-olah sah di mata hukum karena berlakunya Pasal 251 KUHD.
Eliadi menuturkan, Pasal 251 KUHD membuka ruang bagi perusahaan asuransi memanfaatkannya sebagai senjata sakti melakukan berbagai tricky yang bertujuan untuk menghindar dari tanggung jawab pembayaran klaim. Selain itu Pasal 251 KUHD sama sekali tidak memberi ruang bagi tertanggung/pemegang polis atau ahli warisnya untuk membuktikan jika kesalahan atau kelalaian tidak berada pada dirinya dan membuktikan bahwa tertanggung telah melakukan itikad terbaik (utmost good faith). Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
“Pasal 251 ini memberikan hak secara eksklusif kepada penanggung untuk membatalkan tanpa mempertimbangkan pembelaan-pembelaan hukum yang dilakukan oleh tertanggung,” kata Eliadi.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 251 KUHD sepanjang frasa “pertanggungan itu batal” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan tersebut didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung” atau “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan itu dilakukan oleh penanggung dalam rentang waktu paling lama 6 (enam) bulan karena ditemukannya ketidaksesuaian data tertanggung antara data yang tertera dalam formulir pertanggungan dengan data yang sebenarnya.”
Sopan Santun Duha merupakan tertanggung/pemegang polis atas nama almarhum Latima Laia yang terdaftar sebagai tertanggung/pemegang polis asuransi jiwa dari PT Prudential Life Assurance. Hingga permohonan ini dibuat, Prudential masih memiliki kewajiban untuk membayar sisa nilai manfaat yang semestinya diterima penerima manfaat atas nama Sopan Santun Duha sebesar Rp 510,5 juta.
Namun, Sopan Santun Duha telah meninggal dunia pada 7 Januari 2024 sehingga nilai manfaat belum dibayarkan Prudential. Menurut Pemohon, secara hukum jatuh kepadanya atau menjadi hak Pemohon yang merupakan ahli waris sah dari penerima manfaat.
Sebagai informasi, Sopan Santun Duha pernah mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024. Namun, pada sidang perbaikan permohonan pada 5 Februari 2024 lalu, Sopan Santun Duha diketahui meninggal dunia pada 7 Januari 2024. Kemudian, Mahkamah menyatakan permohonan tersebut gugur pada sidang pengucapan putusan/ketetapan pada 13 Februari 2024. Sebab, Pemohon perkara meninggal dunia sehingga permohonan tersebut kehilangan subjek hukum dan permohonan tidak dapat dilanjutkan.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam nasihatnya mengatakan, Pemohon semestinya menjelaskan rasio legis atas pengajuan pemaknaan Pasal 251 KUHD sebagaimana diinginkan Pemohon dalam petitumnya. Misalnya, Pemohon harus menguraikan rasio legis atas frasa rentang waktu paling lama enam bulan. Pemohon harus hati-hati karena hal itu termasuk norma baru yang akan diberlakukan apabila Mahkamah nanti mengabulkan permohonan ini.
“Bisa jadi cuma tiga bulan, bisa jadi sembilan bulan, atau satu tahun. Jadi Anda tanyakan praktiknya bagaimana, bagaimana pihak asuransi menjalankan kewajibannya itu rata-rata selesai dalam waktu berapa lama kalau Anda ingin menambahkan, sehingga ada rasio legis yang bisa ditunjukkan,” ucap Guntur.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan, Pemohon dapat memperbaiki permohonan. Kemudian, Pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan kepada Mahkamah paling lambat 14 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB.
Baca juga:
Nilai Klaim Asuransi Tak Sesuai, Pemohon Uji KUHD
Ketika Pemohon Perkara di MK Meninggal Dunia
Sopan Santun Meninggal, Uji KUHD Gugur
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.