JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (30/7/2024). Sidang kedua yang dihadiri oleh Ahmad Sadzali yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) beserta mahasiswa UII dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan ini, dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebagai Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XXII/2024 tersebut, Ahmad Sadzali menyebutkan poin-poin perbaikan, di antaranya penambahan satu Pemohon atas nama Syafiq (Pemohon VII); penambahan dasar pengujian berupa Pasal 22E ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945. Selain itu, para Pemohon juga mempertegas kerugian masing-masing pihak atas keberlakuan pasal-pasal tersebut guna memperkuat kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon.
“Pemohon I sebagai pengajar merasa dirugikan atas berlakunya norma ini, karena sebagai pengajar ia mengalami kesulitan dan pesimis saat mengajarkan materi tentang Demokrasi dan Pemilu. Sebab ternodai oleh praktik politik uang. Kemudian Pemohon III sebagai pengamat politik menilai adanya praktik politik yang tidak sehat (politik uang) ini berakibat pada terlanggarnya hak konstitusionalnya sebagai pemilih. Pemohon IV yang juga sebagai pengamat politik mencermati biaya politik yang sangat besar, sehingga sulit untuk mendapatkan calon yang berintegritas akibat praktik politik uang ini,” jelas Ahmad.
Baca juga: Menyoal Keterbatasan Subjek Hukum bagi Relawan Pelaksana Kampanye yang Terindikasi Lakukan Politik Uang
Dalam Sidang Pendahuluan pada Senin (15/7/2024) lalu, para Pemohon menyebutkan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Sebab, tidak memberikan kepastian hukum kepada relawan yang melakukan tindak pidana politik uang dalam pelaksanaan pemilihan umum. Para Pemohon menilai keberadaan relawan dalam pelaksanaan kampanye misalnya dengan adanya pasal tersebut membatasi subjek pelaku apabila (relawan) melakukan tindak pidana politik uang. Sehingga kerancuan ini melahirkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Selain itu, ketentuan ini menyulitkan penetapan tanggung jawab bagi individu atau kelompok lain (relawan) yang terlibat secara tidak langsung dan tidak terdaftar di KPU ini, namun dapat saja memberi dampak negatif dalam praktik aktivitas pemilihan umum (kampanye). Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap pelaku tindak pidana pemilu sehingga frasa setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye karena hal ini menjadi subjek yang limitatif tidak bisa bebas diberlakukan untuk setiap orang dengan ketentuan subjek hukum yang bersyarat tersebut, yaitu ketentuan pidana baru bisa diperlakukan kepada orang yang tercantum namanya dalam SK Pelaksana, SK Peserta dan/atau tim Kampanye yang dilaporkan kepada KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, ini merupakan bukti nyata celah lemahnya dalam penegakan hukum pemilu sehingga patut untuk diubah menjadi frasa “Barangsiapa/Setiap orang”. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan