Jakarta, HUMAS MKRI - Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Pengelola Perpustakaan (Puslitka) Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Diskusi Literasi Konstitusi “Perbandingan Hukum: Antara Disiplin Ilmu dan Metodelogi” karya Ananthia Ayu Devitasari dan “Politik Hukum Kewarganegaraan Ganda” karya Suryo Gilang Romadlon. Kegiatan tersebut berlangsung di Perpustakaan MK, Selasa, (23/07/2024), dan dihadiri oleh para peserta baik secara luring maupun daring.
Kepala Puslitka MK, Pan Mohamad Faiz dalam sambutan pembukaan kegiatan ini mengatakan, MK memiliki perpustakaan yang terbuka untuk umum yang dapat digunakan untuk membantu penulisan ilmiah, termasuk para mahasiswa. Buku-buku koleksi perpustakaan MK juga dapat diakses melalui laman MK.
Selanjutnya Faiz menginformasikan telah merancang diskusi ini berkelanjutan setidaknya hingga bulan November sebelum penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada), dan dilanjutkan setelah sengketa hasil pilkada selesai ditangani MK. Kegiatan ini juga dapat diikuti oleh umum baik secara luring maupun daring.
Faiz juga mengungkapkan MK banyak meluncurkan buku. Setidaknya 150 buku yang telah diluncurkan tidak hanya soal hukum, tetapi juga buku-buku lain seperti tentang artificial intelligent dan tema-tema lainnya.
Perbandingan Hukum
Dengan dipandu Faras Aulia Aurelia sebagai moderator, Ananthia Ayu Devitasari yang akrab disapa Ayu mengatakan, latar belakang dirinya menuliskan buku tersebut karena kurangnya literatur yang membahas perbandingan hukum. Ayu mengungkapkan, buku mengenai perbandingan hukum yang beredar di Indonesia mayoritas adalah saduran yang sering kali bahasanya sulit dimengerti. Oleh karena itu dirinya menuliskan buku sebagai salah satu referensi perbandingan hukum.
Ayu mengatakan perbandingan hukum seperti filsafat hukum memiliki banyak dinamika epistimologi dan ontologi, sehingga dirinya akan lebih banyak memberikan contoh. Menurut Ayu untuk memahami sistem hukum kita perlu membandingkan suatu sistem hukum. Ayu mencontohkan Jerman sangat mengagungkan hak privasi, sehingga tidak seperti Indonesia yang sangat mudah bagi seseorang untuk memasang perangkat CCTV, namun di Jerman, seseorang harus mendapat persetujuan dari warga untuk memasang CCTV di sekitar rumahnya.
Perbandingan hukum dimulai ketika manusia memiliki kemampuan untuk membentuk undang-undang. Adapun buku mengenai perbandingan hukum pertama yang tercatat adalah buku karya Aristoteles yang berjudul “La Politica”.
Menurut Ayu, perbandingan hukum biasanya dilakukan untuk penemuan atau pembaharuan hukum, misalnya Prancis yang menerapkan pajak terhadap gula dalam makanan atau minuman dengan tujuan untuk menjaga kesehatan warganya, semakin manis produk makanan atau minuman maka pajakna akan semakin tinggi seperti pajak progresif kendaraan. Berbeda dengan Amerika yang condong kepada kapitalisme, makanan yang sehat justru lebih mahal dibanding makanan olahan hasil industri. Menurutnya contoh itu menunjukan bagaimana hukum sangat dipengaruhi berbagai hal.
Ayu menambahkan, perbandingan hukum tidak hanya membandingkan norma, tetapi juga dapat dilakukan terhadap konteks masyarakat atau sejarahnya. Perbandingan hukum digunakan untuk membedah teks hukum dengan konteksnya.
Fenomena Kewarganegaraan Ganda
Suryo Gilang Romadlon yang biasa disapa Gilang mengupas buku karya tulisnya “Politik Hukum Kewarganegaraan Ganda”. Gilang mengungkapkan buku ini berangkat dari kebingungan harus menulis apa untuk disertasinya. Para pembimbing disertasinya menyarankan untuk mencari isu-isu hukum kontemporer yang belum terselesaikan. Buku ini, menurut Gilang, adalah bagian dari upaya mencari solusi bagi diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai negara yang kesulitan untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).
Gilang mengungkapkan tulisan itu disusun ketika ramai arus globalisasi yang melibatkan manusia di dalamnya, yaitu isu global citizenship, dimana masyarakat berpandangan seharusnya tidak ada batasan wilayah dari individu yang dapat merampas haknya. Diakui olehnya, isu itu terlalu liberal. Oleh sebab itu, Gilang menurunkan isu kewarganegaraan ganda dimana sejumlah negara telah menerapkannya.
Dikatakan olehnya, fenomena kewarganegaraan ganda sudah cukup lama terdengar jauh sebelum naturalisasi pemain sepak bola yang marak terjadi saat ini. Menurutnya, beberapa negara telah menerapkan secara penuh atau pun terbatas. Indonesia menerapkan kewarganegaraan terbatas bagi anak hasil campur kewarganegaraan hingga memasuki usia 18 tahun.
Persoalan kewarganegaraan ganda yang sempat mencuat adalah kasus anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Gloria Natapradja Hamel yang ternyata memiliki kewarganegaraan ganda Indonesia dan Prancis. Gilang mengatakan, seharusnya seorang anak juga harus memutuskan secara administrasi kewarganegaraan mana yang dia pilih, sehingga saat itu Gloria kehilangan status kewarganegaraan Indonesia.
Kasus lain adalah Archandra Tahar, Wakil Menteri ESDM yang juga memiliki status warga negara Amerika. MK juga pernah mengungkap kasus kewarganegaraan ganda dalam perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah di Kabupaten Sabu Raijua. Kandidat terpilih, Orien Riwu Kore, memiliki kewarganegaraan ganda. Karena terbukti memiliki kewarganegaraan ganda, MK mendiskualifikasi Orient P. Riwu Kore.
Fenomena kewarganegaraan ganda tersebut mendorong Gilang mencoba mempelajari persoalan warga negara ganda dari berbagai instansi dan organisasi, juga mempelajari berbagai produk hukum di berbagai negara. Dari hasil penelitiannya, tidak ada kerugian apa pun bagi negara-negara yang menerapkan kewarganegaraan ganda.
Gilang menjelaskan banyak keturunan Indonesia yang merasa dirugikan, karena mereka menjadi warga negara lain akibat keadaan, seperti memiliki salah satu orang tua yang berasal dari negara lain, lahir dan tumbuh di negara lain, dan mereka tidak pernah meminta untuk menjadi warga negara lain.
Menurutnya, status kewarganegaraan ganda memiliki dampak yang positif meski ada beberapa kekhawatiran yang dapat dijawab dengan beberapa cara antara lain seleksi yang ketat, atau wajib lapor seperti yang diberlakukan di Rusia, seleksi terhadap negara-negara yang beresiko tinggi. Selain itu, harus diakui ada sejumlah resiko yang mengiringi penerapan kebijakan kewarganegaraan ganda.
Menjawab pertanyaan dari para peserta dalam sesi tanya jawab, mengenai bagaimana melakukan identifikasi masalah perbandingan hukum, Ayu mengatakan kita harus mengenal dan memahami hukum yang akan diperbandingkan. Jika tidak memahaminya, maka akan menyebabkan perbandingan yang salah. Mengenai perbandingan konstitusi, kajian itu lebih rumit dibanding perbandingan hukum karena banyak faktor yang memengaruhi konstitusi suatu negara.
Sementara Gilang dalam jawabannya terhadap persoalan siapa yang berhak menentukan kewarganegaraan, menurutnya ada hak dasar dari seseorang untuk diakui kewarganegaraannya. Namun sejatinya kendali untuk menentukan kewarganegaraan tetap ada pada pemerintah.
Dalam kesempatan itu Gilang dan Ayu berbagi tips dalam menulis sebuah buku. Menurut Gilang, tulis saja apa yang ada dalam isi kepala. Seiring berjalannya waktu, semuanya akan berjalan dengan sendirinya karena langkah yang paling berat adalah langkah pertama.
Penulis: Ilham Wiryadi Muhammad.
Editor: N. Rosi.