JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan Pengujian materiil Pasal 16 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (UU Keprotokolan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Senin (22/07/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh tersebut.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 66/PUU-XXII/2024 ini diajukan Pranoto, seorang Pemerhati Sejarah Indonesia, dan Dwi Agung, seorang Guru. Para Pemohon menyampaikan, kesalahan fakta sejarah yang dimasukkan ke dalam undang-undang menyebabkan kesalahan berkelanjutan dalam sistem pendidikan Indonesia, sehingga manfaat ilmu pengetahuan tidak diperoleh dan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak tercapai.
Para Pemohon merasa dirugikan karena ketidaksesuaian antara frasa dalam undang-undang dan fakta yang ada. Hal ini menghambat mereka dalam mendapatkan, memberikan, dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta pendidikan, serta memperoleh manfaat dari sistem pendidikan nasional yang dirancang oleh Pemerintah.
“UU Keprotokolan menyebutkan bahwa tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari kemerdekaan Negara Indonesia. Sedangkan menurut sejarah dan Pemohon bahwa 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan atau hari kelahiran Bangsa Indonesia yang mana bilamana ingin menyebut hari kemerdekaan negara Indonesia itu tanggal 18 Agustus 1945. Dari situ maka penyebutan setiap upacara bendera sebagai 17 Agustus hari kemerdekaan Indonesia sangat merugikan para Pemohon,” jelas Singgih Tomi Gumilang selaku kuasa para Pemohon secara daring.
Selain itu, Para Pemohon juga menegaskan, ketidaksesuaian ini juga berdampak pada pencapaian tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Kesalahan ini juga tercermin dalam Surat Edaran Pemerintah tentang Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Dengan mengubah frasa 'Kemerdekaan Republik Indonesia' menjadi 'Kemerdekaan Bangsa Indonesia' dalam Pasal 16 Huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 UU Keprotokolan, diharapkan hak dan kewenangan konstitusional Para Pemohon dapat dipenuhi dengan lebih baik, sehingga sistem pendidikan nasional dapat berfungsi dengan semestinya, dan Pemerintah dapat lebih cermat dalam menerbitkan Surat Edaran terkait peringatan hari besar nasional.
Untuk itu, maka dalam petitum permohonan para Pemohon meminta MK menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Menyatakan Pasal 16 Huruf a, Pasal 18, dan Pasal 20 UU Keprotokolan sepanjang frasa “Kemerdekaan Republik Indonesia” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyarankan agar para Pemohon menguraikan secara spesifik urgensi frasa tersebut untuk ditafsirkan dan dimaknai sesuai argumentasi para Pemohon maupun kuasanya. “Elaborasi mengenai pencantuman frasa atau nomenklatur kemerdekaan Republik Indonesia dalam UU Keprotokolan itu tidak sesuai dengan sejarah sebagaimana para Pemohon, berpengaruh terhadap proses pengajaran dan pemahaman siswa-siswa terhadap murid-murid yang diajar oleh pemohon,“ sebut Ridwan.
Hakim Kostitusi Daniel Yusmic P. Foekh juga mengatakan hal serua. Daniel menyarankan para Pemohon untuk melihat contoh permohonan yang ada untuk menguraikan legal standing.
Sebelum menutup persidangan para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Penyerahan berkas perbaikan paling lambat Senin 5 Agustus 2024 pukul 09.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.